Muhammad Ilham Baktora
Rabu, 05 November 2025 | 15:43 WIB
Dosen FEB UGM, Luluk Lusiantoro menyampaikan tentang sampah di Yogyakarta dalam diskusi, Rabu (5/11/2025). [Kontributor/Putu]
Baca 10 detik
  • Pengolahan sampah menjadi energi listrik di DIY masih menuai pro dan kontra
  • Pemda DIY diingatkan agar tak gegabah mengambil proyek pemerintah pusat hanya untuk menangani sampah
  • Jika berkaitan untuk peningkatan energi listrik Indonesia, PLN sudah oversupply

SuaraJogja.id - Proyek Pengolahan Sampah jadi Energi Listrik (PSEL) yang tengah disiapkan Pemda DIY sebagai solusi darurat penanganan sampah di wilayah ini dinilai hanya bersifat jangka pendek.

Proyek yang rencananya dibiayai besar-besaran dari dana investasi dari Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara ini bahkan disebut tidak efektif bila diberlakukan terus menerus tanpa adanya perubahan perilaku masyarakat.

Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM), Luluk Lusiantoro disela diskusi Introduction to Circular Economy di Yogyakarta, Rabu (5/11/2025) menyatakan penerapan teknologi waste-to-energy (WtE) seperti PSEL memang dapat mempercepat pengurangan timbunan sampah.

Namun proyek itu berpotensi menghambat perubahan perilaku masyarakat dan produsen dalam mewujudkan sistem ekonomi sirkular.

"Waste-to-energy itu bisa jadi solusi, tapi solusi jangka pendek. Jangan sampai masyarakat merasa semua sampah bisa dibakar dan selesai urusannya. Kalau itu terjadi, kita gagal menciptakan perilaku konsumsi dan produksi yang berkelanjutan," sebut dia.

Menurut Luluk, keberadaan PSEL memang mampu mengatasi krisis sampah dalam waktu cepat.

Namun, tanpa perubahan mendasar pada pola konsumsi dan produksi, teknologi ini justru berisiko menjadi pelarian jangka panjang yang membuat publik berhenti berpikir soal pemilahan dan pengurangan sampah dari sumbernya.

Dalam proyek PSEL, DIY harus mampu menyediakan minimal 1.000 ton sampah per harinya. Padahal tidak semua jenis sampah bisa dibakar.

Karenanya Luluk mengingatkan, jika Pemda DIY hanya mengandalkan PSEL, perilaku masyarakat dan pelaku industri tidak akan berubah.

Baca Juga: Jalur yang Dilewati Iring-iringan Jenazah PB XIII di Yogyakarta, Polda DIY Siapkan Pengamanan Ekstra

Apalagi bila masyarakat maupun produsen penghasil sampah tahu semua sampah akan dibakar, mereka akan berpikir sekedar membuang sampah tanpa termotivasi untuk mengubah pola bisnisnya.

"Ngapain repot mendesain kemasan ramah lingkungan kalau tahu ujungnya juga dibakar," ujarnya.

Pasokan Listrik Nasional Oversupply

Gedung PLN Kantor Pusat di daerah Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. (Dok: PLN)

Luluk menyebut, sistem kelistrikan nasional saat ini sudah mengalami kelebihan pasokan atau oversupply.

Karenanya jika Pemda DIY menambah pembangkit baru dari sampah tidak otomatis memberikan manfaat ekonomi.

"Sejak 10 tahun terakhir, sistem kelistrikan kita sudah oversupply sangat besar. Data PLN menunjukkan nilai surplusnya mencapai ratusan triliun. Jadi kalau ditambah lagi listrik dari sampah, mau dijual ke mana? Ini harus jadi pertimbangan serius," ujar dia.

Selain itu, Luluk menilai pemerintah masih kurang melibatkan pihak produsen dalam diskusi dan kebijakan pengelolaan sampah.

Padahal, konsep Extended Producer Responsibility (EPR) atau tanggung jawab produsen terhadap kemasan pasca-konsumsi sudah lama dikenal secara internasional.

Selama ini jarang sekali ada diskusi yang melibatkan produsen air mineral, minuman, atau industri makanan untuk bertanggung jawab terhadap sampah yang mereka hasilkan.

Padahal di negara lain, EPR sudah jadi mekanisme wajib.

Padahal tanggung jawab pengelolaan sampah tidak bisa hanya dibebankan pada pemerintah daerah dan masyarakat.

Namun juga harus melibatkan produsen sebagai bagian dari rantai sirkular ekonomi.

"Kalau sistemnya berjalan, produsen bisa menarik kembali kemasan bekas untuk diolah jadi bahan baku baru. Itu baru sirkular ekonomi. Tapi di sini belum ada mekanismenya," ungkapnya.

Pembatasan Waktu harus Diperhatikan

Sampah menumpuk di salah satu depo Kota Yogyakarta akibat pembatasan pengiriman ke TPA Piyungan, Selasa (16/9/2025). [Kontributor/Putu]

Meski mengakui PSEL dapat membantu mengatasi darurat sampah di Yogyakarta, Luluk menegaskan proyek tersebut seharusnya dibatasi secara waktu.

Selain itu dibutuhkan rencana transisi menuju sistem pengelolaan berkelanjutan.

Terlebih investasi teknologi pembakaran sampah bernilai sangat besar yang bisa bahkan bisa mencapai miliaran rupiah.

Namun manfaatnya tidak akan berkelanjutan jika tidak diiringi perubahan sistemik.

"Kalau kita tidak hati-hati, nanti lima tahun jadi lima belas tahun [PSEL]. Kita kebablasan dan kehilangan momentum untuk bertransisi ke ekonomi berkelanjutan," ungkapnya.

Luluk menambahkan, Pemda harus melihat PSEL bukan sebagai akhir dari persoalan. Namun lebih dari itu merupakan awal dari upaya memperbaiki sistem pengelolaan sampah.

Proyek PSEL yang ditargetkan dimulai dalam dua tahun ke depan mestinya tidak dijadikan selebrasi bila DIY sudah punya solusi teknologi.

Tapi justru harus dijadikan fase krusial untuk membangun kesadaran baru bahwa pengelolaan sampah itu tanggung jawab bersama.

"Jadi bukan sekadar membakar dan menghilangkannya dari pandangan," katanya mengingatkan.

Kontributor : Putu Ayu Palupi

Load More