- Presiden Prabowo menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada sepuluh tokoh di Istana Negara Jakarta pada Senin, 10 November 2025.
- Pemberian gelar kepada Presiden Kedua RI, Soeharto, memicu kritik keras karena dinilai mengabaikan pelanggaran HAM dan pembunuhan demokrasi Orde Baru.
- Aktivis dan tokoh politik menegaskan bahwa Soeharto seharusnya tidak dinobatkan sebagai pahlawan karena warisan rezimnya berupa kejahatan kemanusiaan dan ketimpangan ekonomi.
"Hari ini kita masih hidup dalam bayang-bayang warisan Orde Baru seperti oligarki, dinasti politik, dan militerisme yang belum sepenuhnya hilang," tandasnya.
Secara terpisah Ketua Komisi A DPRD DIY, Eko Suwanto mengungkapkan rakyat tidak pernah lupa bagaimana reformasi lahir dari perlawanan terhadap kediktatoran Soeharto.
Ia mengingatkan kembali peristiwa Pisowanan Ageng 20 Mei 1998, sebuah gerakan damai di Alun-Alun Utara Yogyakarta yang menjadi simbol kekuatan moral rakyat untuk menuntut reformasi total.
Dalam aksi yang dihadiri ribuan warga dan mahasiswa itu, Sri Sultan Hamengku Buwono X dan KGPAA Paku Alam VIII mengeluarkan Maklumat Reformasi dan menyerukan agar seluruh rakyat dan ABRI bersatu mendukung gerakan reformasi, menjaga kesatuan bangsa, dan menegakkan kepemimpinan yang berpihak kepada rakyat.
Beberapa hari setelah maklumat dan gelombang aksi tersebut, sejarah mencatat Soeharto akhirnya mundur dari jabatannya sebagai Presiden RI, menandai berakhirnya era Orde Baru.
"Kewajiban sejarah bagi kita semua adalah menyampaikan dengan jujur bahwa Soeharto tidak pantas menjadi pahlawan. Rakyat sudah menolak dan sejarah sudah mencatat," ujar dia.
Alumni MEP UGM ini menegaskan, pemerintah harus menjaga etik dan moral dalam pemberian gelar kepahlawanan.
Sebab, selama 32 tahun berkuasa, Soeharto mematikan demokrasi dan kebebasan berpendapat.
"Kalau ia masih berkuasa, kaum muda hari ini tidak akan bebas membaca, menulis, atau berekspresi," paparnya.
Baca Juga: Gelar Pahlawan Soeharto: UGM Peringatkan Bahaya Penulisan Ulang Sejarah & Pemulihan Citra Orde Baru
Eko juga menyoroti bagaimana kebijakan ekonomi Orde Baru justru melahirkan ketimpangan dan ketergantungan terhadap modal asing.
Bagi rakyat Yogyakarta, gerakan reformasi bukan sekadar catatan masa lalu, tetapi warisan moral yang harus dijaga.
Apalagi Yogyakarta menjadi saksi bagaimana rakyat bersatu menuntut keadilan, kebebasan, dan perubahan sistem.
"Warisan kapitalisme dan liberalisasi ekonomi dari masa Orde Baru masih kita rasakan dampaknya sampai sekarang. Itu bukan jasa, tapi luka panjang bangsa," imbuhnya.
Kontributor : Putu Ayu Palupi
Berita Terkait
Terpopuler
- 4 Mobil Bekas 50 Jutaan Muat 7-9 Orang, Nyaman Angkut Rombongan
- Daftar Mobil Bekas yang Harganya Paling Stabil di Pasaran
- Pandji Pragiwaksono Dihukum Adat Toraja: 48 Kerbau, 48 Babi, dan Denda 2 Miliar
- 7 Parfum Wangi Bayi untuk Orang Dewasa: Segar Tahan Lama, Mulai Rp35 Ribuan Saja
- 3 Pelatih Kelas Dunia yang Tolak Pinangan Timnas Indonesia
Pilihan
-
Menko Airlangga Ungkap Dampak Rencana Purbaya Mau Ubah Rp1.000 Jadi Rp1
-
Modal Tambahan Garuda dari Danantara Dipangkas, Rencana Ekspansi Armada Kandas
-
Purbaya Gregetan Soal Belanja Pemda, Ekonomi 2025 Bisa Rontok
-
Terjerat PKPU dan Terancam Bangkrut, Indofarma PHK Hampir Seluruh Karyawan, Sisa 3 Orang Saja!
-
Penculik Bilqis Sudah Jual 9 Bayi Lewat Media Sosial
Terkini
-
Buron Setahun, Glempo Pelaku Penganiayaan Mahasiswa di Sarkem Akhirnya Tertangkap Polisi
-
Wali Murid SD Nglarang Tolak Relokasi Sebelum Ada Gedung Baru, Pihak Tol Jelaskan Kendala Lahan
-
Tarik Ulur Proyek Strategis Nasional: Wali Murid SD Nglarang Konsisten Tolak Pindah Sebelum Janji Gedung Baru Terpenuhi
-
Soeharto Bukan Pahlawan, Ia Penjahat Kemanusiaan Suara Lantang Jogja Memanggil Tolak Keputusan Istana
-
Tanpa Basic Bela Diri, Modal Marah dan Adrenalin, Member Minerva Land Tangkap Pencuri di Sleman