- Kasus bunuh diri terkini menjadi alarm bagi kesehatan mental Generasi Alpha yang rentan akibat tekanan psikologis lingkungan digital.
- Generasi Alpha berisiko tinggi mengalami kelelahan emosional dini karena interaksi intensif dunia maya tanpa kemampuan pengelolaan emosi matang.
- CPMH UGM dan Dinkes Sleman menekankan perlunya peran aktif orang tua serta sekolah dalam meningkatkan literasi dan menyediakan dukungan psikologis.
Ditambah lagi, peran pengasuhan yang kini tak sedikit digantikan oleh gawai membuat anak minim kesempatan belajar emosi secara langsung dari orang tuanya.
"Paparan dunia digital yang tidak terkontrol semakin memperparah kondisi ini karena anak-anak seringkali tidak memiliki filter dalam menyerap informasi atau membandingkan diri dengan orang lain di media sosial," tambahnya.
Peran Kunci Orang Tua dan Sekolah
Untuk menekan risiko depresi, Nurul menyarankan beberapa langkah konkret.
Pertama, pengaturan screen time atau waktu menatap layar yang berlaku untuk seluruh anggota keluarga, bukan hanya anak.
Langkah ini bertujuan menciptakan momen interaksi berkualitas, di mana orang tua bisa berperan aktif sebagai 'pelatih emosi' dengan memberi contoh ekspresi emosi yang sehat dan terbuka.
"Keluarga perlu membangun komunikasi yang suportif dan meningkatkan literasi kesehatan mental agar bisa mendeteksi tanda-tanda awal perubahan perilaku anak," ujarnya.
Di sisi lain, sekolah memegang peran strategis.
"Sekolah harus memastikan bahwa setiap anak merasa aman, terbebas dari tekanan sosial maupun perundungan," tuturnya.
Baca Juga: Arya Daru Putuskan Bunuh Diri? Keluarga Akui Tak Pernah Dengar Almarhum Mengeluh soal Kerjaan
Ini bisa diwujudkan dengan menyediakan akses ke psikolog atau konselor, melatih guru sebagai 'gatekeeper' yang peka terhadap perubahan perilaku siswa, dan mengintegrasikan pembelajaran sosial-emosional (SEL) dalam kurikulum.
Data Lokal Tunjukkan Urgensi
Secara lokal, data dari Dinas Kesehatan (Dinkes) Sleman menunjukkan adanya peningkatan kasus bunuh diri dari 16 kasus pada 2022 menjadi 25 kasus pada 2024. Meskipun tren menurun dengan catatan 6 kasus hingga Oktober 2025, angka ini tetap menjadi perhatian serius.
Kepala Dinkes Sleman, Cahya Purnama, menyebut faktor pemicunya beragam, mulai dari tekanan ekonomi, perundungan (*bullying*), hingga relasi interpersonal yang bermasalah.
"Yang paling [pengaruh], kalau orang tua, teman hidup. Sudah masalah ekonomi sedikit, teman hidupnya ngeyel, nanti pasti kena masalah-masalah seperti itu. Nah, ini harus hati-hati," ucapnya.
Menanggapi hal ini, Dinkes Sleman telah menempatkan satu hingga dua psikolog di setiap Puskesmas dan aktif melakukan asesmen ke sekolah-sekolah untuk deteksi dini.
Berita Terkait
Terpopuler
- 5 Mobil Bekas yang Anti-Rugi: Pemakaian Jangka Panjang Tetap Aman Sentosa
- 3 Mobil Bekas 60 Jutaan Kapasitas Penumpang di Atas Innova, Keluarga Pasti Suka!
- 5 Mobil Listrik 8 Seater Pesaing BYD M6, Kabin Lega Cocok untuk Keluarga
- Cek Fakta: Viral Ferdy Sambo Ditemukan Meninggal di Penjara, Benarkah?
- Target Harga Saham CDIA Jelang Pergantian Tahun
Pilihan
-
Catatan Akhir Tahun: Emas Jadi Primadona 2025
-
Dasco Tegaskan Satgas DPR RI Akan Berkantor di Aceh untuk Percepat Pemulihan Pascabencana
-
6 Rekomendasi HP Murah Layar AMOLED Terbaik untuk Pengalaman Menonton yang Seru
-
Kaleidoskop Sumsel 2025: Menjemput Investasi Asing, Melawan Kepungan Asap dan Banjir
-
Mengungkap Gaji John Herdman dari PSSI, Setara Harga Rumah Pinggiran Tangsel?
Terkini
-
Meski Naik dari Hari Biasa, Orderan Rental Motor Jogja Tetap Tak Seramai Tahun Lalu
-
Anak-anak Terdampak Banjir di Sumatera Gembira Dapat Trauma Healing dari BRI
-
5 Pasar Tradisional Estetik di Jogja yang Cocok Dikunjungi Saat Liburan Akhir Tahun
-
Selamat Tinggal, Rafinha Resmi Tinggalkan PSIM Yogyakarta dan Gabung PSIS Semarang
-
Empati Bencana Sumatera, Pemkab Sleman Imbau Warga Rayakan Tahun Baru Tanpa Kembang Api