- Kesehatan mental di Jogja menjadi perhatian serius
- Adanya judi online dan tak mudah bercerita menjadi beberapa faktornya
- Kasus ini bisa semakin memburuk jika tak ada perhatian dari berbagai sektor baik pemerintahan dan warga sendiri
SuaraJogja.id - Di balik citra Yogyakarta sebagai kota pendidikan dan kebudayaan, kini tumbuh kegelisahan baru yang tak kasat mata.
Tren angka gangguan kejiwaan dan depresi di kalangan masyarakat, termasuk remaja usia 17 hingga 30 tahun mengalami peningkatan.
Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 yang dirilis Kementerian Kesehatan RI pada Juni 2024 menyebut DIY sebagai wilayah dengan prevalensi tertinggi untuk rumah tangga yang memiliki anggota rumah tangga (ART) bergejala psikosis/skizofrenia 9,3 persen.
Sedangkan berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, pada 2024 lalu ditemukan sebanyak 3.239 orang dengan gangguan jiwa dengan prevalensi 0,78 persen dan 1.285 di antaranya ODGJ Berat.
Ketua Ikatan Psikolog Klinis (IPKI) DIY, Ridqoh Ihdayati, disela peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia di FKKMK UGM, Yogyakarta, Kamis (9/10/2025) mengungkapkan munculnya krisis kesehatan mental di era digital.
"Kalau dulu penyebab utama depresi itu masalah ekonomi atau tekanan pekerjaan, sekarang berbeda. Paparan media sosial dan gadget justru memunculkan masalah baru seperti gangguan emosi, konsentrasi, dan perkembangan sosial," paparnya.
Menurut Ridqoh, dampak teknologi kini sudah merambah hingga anak-anak.
Dari pengalamannya di dalam menangani kasus gangguan kejiwaan di Yogyakarta, Ridqoh menemukan banyak anak dengan gangguan perkembangan bicara, gangguan fokus, dan perilaku karena sejak kecil terus terpapar layar.
"Bahkan ada kasus di mana gejala menyerupai autisme muncul lebih cepat karena minimnya interaksi sosial alami," jelasnya.
Baca Juga: Bukan Asal Manggung! Ini 7 Spot Resmi Pengamen di Malioboro, Ada Lokasi Tak Terduga
Perubahan perilaku ini juga terjadi pada remaja dan orang dewasa.
Hal ini terjadi karena media sosial menciptakan tekanan sosial yang halus tapi konstan.
Setiap orang membandingkan diri mereka dengan orang lain soal pencapaian, gaya hidup, bahkan kebahagiaan.
Kondisi ini melahirkan stres yang kronis, diperparah dengan rendahnya literasi emosi digital.
Masyarakat belum siap memilah informasi. Satu komentar negatif di internet bisa memicu perasaan gagal, malu, atau marah.
Banyak orang bahkan makin mudah tersulut dan makin sulit menenangkan diri.
Berita Terkait
Terpopuler
- 7 Sunscreen Terbaik untuk Flek Hitam Usia 50 Tahun, Atasi Garis Penuaan
- 3 Link DANA Kaget Khusus Hari Ini, Langsung Cair Bernilai Rp135 Ribu
- 14 Kode Redeem FC Mobile Hari Ini 7 Oktober 2025, Gaet Rivaldo 112 Gratis
- Sosok Profesor Kampus Singapura yang Sebut Pendidikan Gibran Cuma Setara Kelas 1 SMA
- 5 Fakta Heboh Kasus Video Panas Hilda Pricillya dan Pratu Risal yang Guncang Media Sosial
Pilihan
-
Pelaku Ritel Wajib Tahu Strategi AI dari Indosat untuk Dominasi Pasar
-
Istri Thom Haye Keram Perut, Jadi Korban Perlakuan Kasar Aparat Keamanan Arab Saudi di Stadion
-
3 Rekomendasi HP 1 Jutaan Kemera Terbaik, Mudah Tapi Bisa Diandalkan
-
Kontroversi Penalti Kedua Timnas Indonesia, Analis Media Arab Saudi Soroti Wasit
-
6 Rekomendasi HP Murah Baterai Jumbo 6.000 mAh, Pilihan Terbaik Oktober 2025
Terkini
-
Tiga Warna, Satu Meja: Hotel Tentrem Yogyakarta Sukses Perkuat Diplomasi Prancis dan Indonesia
-
Penataan PKL di Jalan Persatuan UGM Masih Tersendat, Pemkab Sleman Tunggu Perda Baru
-
'Aksi Kami Kem-Arie': Mahasiswa Ilmu Sejarah UNY Turun Tangan Bela Rekan yang Dikriminalisasi
-
Yogyakarta Darurat Kesehatan Mental: Krisis Depresi dan Gangguan Jiwa Mengintai Generasi Muda
-
Saldo DANA Gratis Menanti, Klaim DANA Kaget Sekarang dengan Link Ini