SuaraJogja.id - Angka kemiskinan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) masih cukup tinggi saat ini. Bahkan lebih tinggi dari rata-rata nasional, yakni mencapai 11,81 persen.
Padahal angka rata-rata nasional hanya sebesar 9,66 persen.
Ketua Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPD) DIY sekaligus Wakil Gubernur (wagub) DIY Sri Paduka Paku Alam X mengemukakan DIY berada pada urutan 23 dari 34 propinsi di Indonesia.
Angka kemiskinan tertinggi di Kulon Progo dan Gunungkidul. Bahkan dari lima kabupaten/kota, Indeks Pembanguan Manusia (IPM) Gunung Kidul juga terbilang paling rendah.
Baca Juga:Angka Kemiskinan di Indonesia Tinggi, Prabowo: Sudah Lama Elit Tipu-tipu
"Pendapatan per kapita masyarakat Gunungkidul dan Kulon Progo masih berada di tingkat terendah dibanding kabupaten/kota lainnya," papar Paku Alam dalam Rapat Koordinasi Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPD) DIY di Kantor Gubernur DIY, Rabu (10/7/2019).
Meski angka kemiskinan tinggi, menurut Wagub, terjadi loncatan pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Kulon Progo sebesar 10,62 pada tahun 2018 dari 5,97 pada tahun 2017. Selain itu tingkat kemiskinan di kabupaten Kulon Progo turun dari 20,03 persen menjadi 18,30 persen atau sebesar 1,73 persen.
"Tetapi angka tingkat kemiskinan DIY masih tertinggi," tandasnya.
Karena itulah Wagub meminta penyusunan strategi untuk menyeimbangkan pertumbuhan antar kabupaten/kota. Perlu ada parameter tersendiri untuk menghitung angka kemiskinan untuk penilaian kinerja DIY ke depan disesuaikan dengan melihat target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah(RPJMD) sebesar 7 persen pada Tahun 2022.
Semua pihak juga diharapkan memprioritaskan pengarusutamaan kemiskinan untuk semua program/kegiatan tahun 2020-2022. Selain itu perlu adanya sinergitas program dan kegiatan antara Pemda DIY dan Forum Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan (TSLP) DIY.
Baca Juga:Mendes Sebut Dana Desa Sukses Turunkan Angka Kemiskinan Indonesia
"Setiap kepala OPD (organisasi perangkat daerah) dapat menjadi bapak asuh/bapak angkat untuk mendampingi pengendalian/penurunan tingkat kemiskinan," paparnya.
Sementara itu, Kepala Bappeda DIY Budi Wibowo mengungkapkan kesulitan penurunan kemiskinan karena terjadinya inclusion error yaitu kesalahan sasaran penerimaan program. Masyarakat yang sebenarnya tidak berhak justru menerima bantuan alih-alih warga miskin.
"Ada exclusion error, yaitu kesalahan yang terjadi karena orang yang seharusnya menjadi sasaran program pengentasan kemiskinan namun kenyataannya malah tidak menerima," paparnya dalam Rapat Koordinasi Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPD) DIY di Kantor Gubernur DIY, Rabu (10/7/2019).
Masalah ini terjadi, menurut Budi karena ketidaksesuaian data dalam pendataan warga miskin. Selain itu kondisi masyarakat yang berubah, yakni sebelumnya miskin menjadi tidak miskin atau sebaliknya. Persoalan lain yang terjadi karena tidak maksimalnya proses verifikasi dan validasi (verivali).
Karena itu kedepan akan dilakukan proses verivali sesuai aturan yang berlaku agar exclusion error tidak terjadi. Hal ini sesuai Permensos No 28 tahun 2017 tentang Pedoman Umum Verifikasi dan Validasi Data Terpadu Penanganan Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu.
Sementara Kepala Badan Pusat Statistik(BPS) DIY, JB Priyono mengungkapkan ada peningkatan penilaian untuk penentuan variabel miskin. Kondisi ini berbeda dari aturan sebelumnya yang menentukan anggota masyarakat yang kategori miskin hanya melalui beberapa variable/kriteria.
"Saat ini ada 58 kriteria atau variabel yang menentukan," imbuhnya.
Kontributor : Putu Ayu Palupi