Hal yang lebih mengejutkan lagi, kematian akibat bunuh diri justru lebih banyak terjadi pada usia produktif yaitu usia antara 18 tahun-60 tahun. Imaji juga mencatat, sebanyak 54 persen pelaku bunuh diri berasal dari usia 18-60 tahun.
Sementara warga yang meninggal bunuh diri di usia di atas 60 tahun ada sekitar 39 persen. Sisanya sebanyak 7 persen berasal dari anak berusia sekolah.
Jaka menambahkan, kejadian bunuh diri justru dominan terjadi di wilayah-wilayah yang lebih maju sosio-ekonominya. Hal ini menunjukkan jika kejadian bunuh diri tidak pilih-pilih lokasi di daerah terpencil atau tidak dan dipandang karena faktor kemiskinan ekonomi saja.
"Sementara dari sisi gender, paling banyak dilakukan oleh laki-laki," paparnya.
Baca Juga:Tewas Gantung Diri, Jejak Digital Mahasiswa S2 ITB Terbongkar
Jaka menjelaskan, aksi bunuh diri didominasi kaum Adam karena di wilayah ini masih berkembang sistem Patrialistik di mana laki-laki dipandang lebih kuat dan lebih bisa menyelesaikan berbagai beban kehidupan.
Jika akhirnya tidak mampu menyelesaikan berbagai beban, hal tersebut akan membuat kaum lelaki menjadi serasa tidak berguna sehingga membuat harapannya putus.
Dalam aksi bunuh diri yang dilaksanakan oleh Sri Murtatik, lanjut Jaka, memperlihatkan sesuatu yang sangat miris. Karena ibu rumah tangga tersebut meninggalkan surat wasiat. Di mana salah satu isinya tentang doa atau harapan untuk suaminya semoga bisa mendapatkan istri yang lebih baik dari dirinya.
"Mbak mas dwik mak jaluk ngapuro sak gede-gedene. Mas dwik mamak titip adik, tulung sekolahno ngasi lulus SMA ben iso golek gawean ben go masa depane adik. Mmk ra kuat tenan, bim mmk jaluk ngapuro yo le ora iso nunggu koe tekan gede. Adik nurut mas dwik, mak iin yo sekolah sik tenan. (Mbak mas dwik, mamak minta maaf yang sebesar-besarnya. Mas dwik mamak titip adik, tolong sekolahkan sampai lulus SMA biar bisa mencari pekerjaan untuk masa depan adik, bim mamak minta maaf ya nak tidak bisa menunggu dirimu sampai besar. Adik ngikut mas dwik, mak iin juga sekolah yang serius)," tulis Sri Wurtatik dalam wasiatnya.
"Pak aku jaluk ngapuro aku urip gur gawe susah sampean. Mugo-mugo bpk ssk entuk bojo sik luwih apik seko aku. Sing pinter dadi genuk. Titip anak putu pak. (Pak saya minta maaf, saya hidup cuma membuat susah dirimu. Semoga bapak besok dapat istri yang lebih bagus dari aku. Yang pinter jadi Genuk. Titik anak cucu pak),"sambung Sri Wurtatik dalam surat wasiatnya.
Baca Juga:Pemuda Asal Pasuruan Gantung Diri di Lapak Parkiran
Menurut Jaka, dalam kalimat terakhir surat wasiat tersebut tersirat jika ada hubungan yang tidak harmonis dari pasangan suami istri ini. Komunikasi keduanya juga terkesan tidak imbang satu sama lainnya.