Ahli UGM: Gunungkidul Kawasan Kapur, Spora Antraks Lebih Betah Hidup

Spora itu bisa hidup di tanah dalam keadaan tidak aktif, tetapi akan berubah aktif ketika masuk ke dalam tubuh binatang atau manusia.

Eleonora Padmasta Ekaristi Wijana
Sabtu, 18 Januari 2020 | 17:59 WIB
Ahli UGM: Gunungkidul Kawasan Kapur, Spora Antraks Lebih Betah Hidup
Dosen UGM memberikan keterangan soal kasus antraks di Gunungkidul, Sabtu (18/1/2020). - (Suara.com/Putu)

SuaraJogja.id - Kabupaten Gunungkidul, yang dikenal sebagai kawasan kapur, disinyalir menjadi tempat nyaman tumbuhnya spora bakteri Bacillus anthracis, yang menyebabkan penyakit antraks. Kondisi ini menjadi salah satu pemicu kasus antraks terus saja muncul di kabupaten tersebut.

“Spora suka dengan kapur, adanya CaCO3 itu kapur membuat spora lebih nyaman di situ,” ujar Prof AETH Wahyuni, dari Departemen Mikrobiologi Fakultas Kedoktetan Hewan (FKH) UGM di kampus setempat, Sabtu (18/1/2020).

Dicontohkan Wahyuni, dia pernah menggunakan media kapur dari Gunungkidul yang ditempelkan pada darah sapi yang positif antraks menggunakan kapas. Spora pada kapur yang dibawa ke laboratorium itu ternyata terus tumbuh.

Spora tersebut dapat hidup di tanah dalam keadaan tidak aktif, tetapi akan berubah aktif ketika masuk ke dalam tubuh binatang atau manusia.

Baca Juga:Cerita Pilu Guru dan PTT di Jember: Gaji Kecil, Tak Diakui Pemerintah

“Kalau bakterinya mati karena di suhu 56 derajat selama setengah jam mati. Namun ternyata sporanya masih bertahan dan tumbuh,” ungkapnya.

Namun, untuk membuktikan lebih lanjut daerah yang berkapur membuat spora antraks tetap tumbuh, menurut Wahyuni, perlu penelitian lebih lanjut, sehingga ada bukti lebih detail lagi terkait faktor-faktor apa saja yang membuat spora masih tetap bertahan.

Spora bakteri antraks sebenarnya bertahan di suhu 12-44 derajat Celcius, tetapi, kata Wahyuni, ternyata bisa bertahan di tanah bertahun-tahun di Gunungkidul.

“Karenanya untuk menekan spora terbentuk maka bangkai ternak yang positif antraks harus dibakar di lubang sedalam dua meter sampai habis lalu disiram disinfektan dan kemudian ditutup dengan semen,” ungkapnya.

Sementara, pengajar dari FKH UGM, Widagdo Sri Nugroho, mengungkapkan, pergantian musim juga menjadi pemicu kasus antraks di Gunungkidul. Kasus serupa pernah terjadi saat awal musim hujan tahun lalu.

Baca Juga:Indonesia Masters: Melaju ke Final, Anthony Tak Ingin Sia-siakan Peluang

“Peluang adanya spora sempat reda karena musim kemarau dan tidak ada rumput, dan pertumbuhan rumput di musim hujan ini membuat spora yang masih ada di tanah dimakan hewan,” jelasnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak