Soal Kerajaan Fiktif, Guru Besar Psikologi UGM: Ke Depan Akan Tetap Ada

Keputusan pengikut kerajaan fiktif dipengaruhi sejumlah faktor, salah satunya berkaitan dengan post power syndrom.

Eleonora Padmasta Ekaristi Wijana
Rabu, 22 Januari 2020 | 07:56 WIB
Soal Kerajaan Fiktif, Guru Besar Psikologi UGM: Ke Depan Akan Tetap Ada
Warga Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, digegerkan oleh kemunculkan orang yang mengaku sebagai pemimpin Kerajaan Agung Sejagat alias KAS. [Facebook]

SuaraJogja.id - Terungkapnya keberadaan kerajaan fiktif belakangan ini mendatangkan sejumlah tanda tanya di publik. Tak hanya satu, setelah santer pergunjingan tentang Keraton Agung Sejagat di Purworejo, Jawa Tengah, mendadak muncul kabar tentang Sunda Empire di Bandung, Jawa Barat.

Menurut Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Koentjoro, fenomena kerajaan fiktif masih berpeluang muncul di kemudian hari dan tak selalu berkaitan dengan persoalan ekonomi.

"Akan selalu terjadi. Sejak zaman dahulu ada, dan ke depan akan tetap ada," kata Koentjoro di Kampus UGM, Yogyakarta, Selasa (21/1/2020).

Koentjoro mengatakan, berdasarkan ilmu psikologi, fenomena kerajaan fiktif seperti Keraton Agung Sejagat dan Sunda Empire biasanya dimunculkan oleh orang yang mengalami delusi keagungan (grandiose delusion).

Baca Juga:Luthfi Ngaku Disetrum Penyidik Polisi, AII: Usut Tuntas

Ia menjelaskan, para penggagas kerajaan fiktif itu berhasil menggaet pengikut karena didukung penguasaan psikologi massa, sehingga mereka mampu memengaruhi atau meyakinkan orang lain.

Beragam cerita yang mereka sampaikan di tengah kumpulan massa, lanjut Koentjoro, mampu mereka kemas secara menarik. Dengan begitu, hal-hal yang tidak ada seolah menjadi nyata. Kemampuan itu pun berpeluang menghipnotis orang lain untuk memutuskan menjadi pengikutnya.

"Itulah suatu kekuatan psikologi massa, sehingga orang dengan mudah percaya dengan apa yang dikemukakan," tutur Koentjoro, dikutip dari Antara.

Dari sisi para pengikutnya, bagi Koentjoro, keputusan mereka tak selalu dilandasi motif ekonomi. Merujuk pada fenomena Kerajaan Agung Sejagat, Koentjoro menerangkan, para pengikutnya rela mengeluarkan sejumlah uang sekadar untuk membeli seragam sebagai syarat keanggotaan.

"Kalau kemiskinan, kenapa mereka mau membayar dua juta? Artinya mereka cukup. Kondisi miskin tapi berspekulasi, ada keinginan yang mau dicapai," ungkap dia, menambahkan bahwa keputusan pengikut kerajaan fiktif dipengaruhi sejumlah faktor, salah satunya berkaitan dengan post power syndrom.

Baca Juga:2 Sosok yang Bikin Dian Sastro Mau Jadi Produser Film

"Banyak di antara mereka orang-orang tua yang dulu punya jabatan tertentu yang tidak terlalu tinggi, yang kemudian ketika pensiun di rumah tidak ada siapa-siapa yang bisa diperintah, lalu dia menggabungkan yang ada di situ," imbuh Koentjoro.

Tak hanya itu, kurangnya sentuhan kasih sayang atau penghargaan yang didapat para orang tua dari anak-anaknya juga memungkinkan untuk menjadi pemicunya, sehingga, kata Koentjoro, sebagai sarana aktualisasi diri, mereka memilih bergabung dengan komunitas itu.

Koentjoro pun berharap, pemerintah dan masyarakat bersinergi untuk meningkatkan daya kritis masyarakat melalui pendidikan, demi mencegah fenomena kerajaan atau keraton palsu muncul kembali.

"Kita ingatkan iqra [membacalah] agar kita mau berfikir, tidak mudah kena pengaruh," tegasnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak