SuaraJogja.id - Tanggal 1 Mei menjadi "hari raya" kaum buruh. Namun peringatan Hari Buruh di 2020 ini menghadirkan nuansa berbeda dari tahun-tahun sebelumnya.
Jika sebelumnya para buruh bisa merayakan Hari Buruh dengan turun ke jalan-jalan menyampaikan aspirasi, saat ini, sayangnya, hal itu tak bisa mereka lakukan lantaran sudah dua bulan berlalu, tetapi Indonesia, dan bahkan dunia, masih diselimuti beragam dampak pandemi corona. Padahal, krisis ekonomi, yang merupakan salah satu dampak besar yang juga dirasakan kaum buruh, perlu mendapat perhatian.
Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kulon Progo sejauh ini mencatat, jumlah tenaga kerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan dirumahkan, termasuk Pekerja Migran Indonesia (PMI) terdampak pandemi Covid-19, mencapai kurang lebih 5.300 orang.
Hari Buruh yang jatuh pada Jumat (1/5/2020) pun disambut dengan suram oleh para buruh yang kehilangan pekerjaan dan tidak dapat menyuarakan aspirasinya ke jalan karena adanya imbauan tidak boleh berkerumun.
Baca Juga:Madonna Ngaku Punya Antibodi Corona, Tak Sabar Mau Keluar Rumah
Salah satunya dirasakan Sigit Romadon, warga Balong, Kaligintung, Temon, Kulon Progo yang pulang ke kampung halaman setelah pihak perusahan tempatnya bekerja menghentikan proyek yang sedang berjalan karena adanya pandemi Covid-19.
Ia sebelumnya bekerja di perusahaan yang bergerak di bidang jasa surveyor sebagai drafter atau pembuat gambar dari hasil ukur bidang tanah oleh surveyor. Namun, adanya instruksi dari pemerintah terkait program pengukuran yang berpotensi menimbulkan kerumunan, akhirnya para pekerja dari luar kota harus dipulangkan.
"Betul bisa dibilang diberhentikan dulu sampai batas waktu yang belum diketahui. Ya terus untuk yang dari luar kota, kami minta dipulangkan saja karena tidak tau sampai kapan pandemi akan berakhir," ungkapnya saat dihubungi SuaraJogja.id, Jumat (1/5/2020).
Sebelum pulang, Sigit bekerja di kawasan Nusa Tenggara Barat (NTB) bersama rekan-rekan lainnya. Namun, sudah sejak satu bulan yang lalu ia memutuskan untuk pulang ke rumahnya di Kaligintung.
Ia mengatakan, keputusannya pulang, selain karena ketidakpastian kapan pandemi akan berakhir, juga akibat ketakutannya yang timbul dari banyaknya kabar buruk selama pandemi. Keputusan pulang lebih cepat dianggapnya sebagai langkah yang tepat karena tidak lama setelah itu semua akses transportasi ditutup untuk sementara waktu.
Baca Juga:Kades Jalancagak Protes Soal Penyaluran Bansos, Mensos Jawab Ini
Sigit menuturkan, karena ia bekerja dengan sistem kontrak, gaji yang diterima hanya sebatas sampai saat terakhirnya bekerja. Saat ini ia harus menjadi pekerja serabutan di desa untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Diakuinya, banyak rencana yang harus tertunda setelah pekerjaannya dihentikan sementara. Bahkan, sekarang ia harus memutar otak lebih keras supaya bisa membayar cicilan.
"Ya sekarang hanya bekerja serabutan di desa, yang jelas kalau di desa paling tidak harga terjangkau, uang Rp20.000 sudah bisa buat hidup sehari. Setidaknya sekarang masih tercukupi," imbuhnya.
Dalam memperingati Hari Buruh ini, Sigit mengungkapkan harapannya kepada pemerintah agar bisa turut membantu lewat program pemulihan ekonomi nasional, yang menurutnya lumpuh pada waktu ini. Misalnya, kata Sigit, menambah ketersediaan lapangan pekerjaan dan menghentikan atau mengurangi tenaga kerja asing yang masuk ke Indonesia.
"Penambahan lapangan pekerjaan dan pengurangan tenaga kerja asing menurut saya penting, karena saat ini di Indonesia sendiri masih banyak rakyat yang belum memiliki pekerjaan," jelasnya.
Nasib berbeda dialami Bara Aranandita Fata, yang bekerja sebagai technical support di sebuah perusahan di daerah Tangerang. Mengingat Tangerang masuk ke dalam zona merah, perusahaan tempatnya bekerja telah memberlakukan Work From Home (WFH).
Selain sudah bekerja dari rumah, Bara juga masih bisa menerima secara penuh gajinya. Meskipun begitu, setelah hampir lebih dari satu bulan bekerja dari mes tempatnya tinggal sementara di Tangerang, ia mulai merasakan kejenuhan.
"Jenuh rasanya karena di mes terus, kangen rumah juga. Sekarang hidupnya sangat monoton, tapi di satu sisi juga tetap harus survive," katanya.
Memperingati Hari Buruh di tengah pandemi Covid-19 ini, Bara berharap situasi sulit saat ini segera berakhir. Ia merasa miris mendengar kabar banyak buruh yang terkena PHK atau dipotong gajinya.
Menurutnya, hal itu bukan sepenuhnya salah perusahaan karena itu pasti juga bukan kemauan perusahaan, tetapi karena keterpaksaan keadaan. Pasalnya, ia juga melihat masih banyak perusahaan yang berjuang sekuat tenaga untuk mempertahankan pekerjan karyawannya.