5 Kejanggalan Tuntutan Jaksa Sidang Novel Baswedan versi Pukat UGM

Pukat UGM merangkum 5 kejanggalan tuntutan jaksa dalam sidang Novel Baswedan.

Rendy Adrikni Sadikin
Selasa, 16 Juni 2020 | 08:00 WIB
5 Kejanggalan Tuntutan Jaksa Sidang Novel Baswedan versi Pukat UGM
Penyidik Senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan tiba di Polda Metro Jaya, Jakarta, Senin (6/1). [ANTARA FOTO/Galih Pradipta]

SuaraJogja.id - Tuntutan 1 tahun penjara bagi terdakwa dalam kasus penyiraman air keras kepada penyidik KPK Novel Baswedan memicu reaksi yang luar biasa dari berbagai kalangan, tak terkecuali dari Pukat UGM (Universitas Gadjah Mada).

Berdasarkan catatan di laman resminya, Minggu (14/6/2020), bertajuk Catatan Merah Tuntutan Jaksa pada Kasus Novel Baswedan, Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM mengungkap 5 kejanggalan dalam tuntutan jaksa penuntut umum.

Berikut 5 kejanggalan seperti dirangkum laman Hops.id--jaringan Suara.com--, Selasa (16/6/2020):

1. Tidak ada niat

Baca Juga:Ragukan Penyiram Air Keras, Novel Baswedan: Bebaskan Daripada Mengada-ada

Kejanggalan pertama adalah pernyataan jaksa penuntut umum (JPU) yang menyebut tidak ada niat dari para terdakwa dalam melakukan aksinya.

Menurut Pukat UGM, pernyataan JPU yang mengatakan tidak terpenuhinya unsur rencana terlebih dahulu merupakan pemahaman hukum pidana yang keliru.

“Mengenai unsur rencana terlebih dahulu, setidaknya mengandung tiga unsur, di antaranya: memutuskan kehendak dalam suasana tenang, tersedia waktu yang cukup sejak timbulnya kehendak sampai dengan pelaksanaan kehendak dan pelaksanaan kehendak dalam keadaan tenang,” tulis Pukat.

Penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan saat memberikan kesaksian dalam sidang kasus penyiraman air keras terhadapnya di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Jakarta, Kamis (30/4).   [Suara.com/Angga Budhiyanto]
Penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan saat memberikan kesaksian dalam sidang kasus penyiraman air keras terhadapnya di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Jakarta, Kamis (30/4). [Suara.com/Angga Budhiyanto]

Menurut Pukat UGM, terdakwa kasus penyerangan Novel Baswedan telah memenuhi ketiga unsur di atas. Hal ini dibuktikan dengan dilakukannya pengintaian dan dipersiapkannya air keras oleh terdakwa.

Pukat menambahkan, kesengajaan tidak hanya berupa sengaja melukai, tetapi kesengajaan dalam maksud sebagai kemungkinan.

Baca Juga:Novel Baswedan Minta Pelaku Penyiraman Dibebaskan, Dedek Uki: Lho Kenapa?

Jadi, meskipun terdakwa tidak bermaksud menyiram badan, tetapi kalau dilakukan dalam kondisi gelap, kemungkinan bisa mengenai bagian tubuh yang lain, dalam hal ini mata Novel Baswedan.

2. Hanya penganiayaan biasa

Kejanggalan ke-dua menurut Pukat UGM adalah di mana JPU menyebut perkara tersebut adalah kualifikasi penganiayaan biasa dengan menggunakan Pasal 353 ayat (2) KUHP sebagai dasar dakwaan.

Menurut mereka, JPU seharusnya mengarahkan tindakan terdakwa pada Pasal penganiayaan berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 335 ayat (1) KUHP.

Alasannya adalah karena pelaku sudah merencanakan dan adanya kesengajaan di situ mengakibatkan luka berat dan permanen pada Novel Baswedan.

3. Mengabaikan barang bukti

Kejanggalan ke-tiga adalah selama persidangan, JPU masih banyak mempertimbangkan keterangan terdakwa daripada alat bukti yang lain.

“Padahal terdakwa dalam memberikan keterangannya tidak disumpah sehingga memiliki hak ingkar,” tulis Pukat UGM.

JPU juga mengabaikan alat bukti dalam bentuk barang bukti air keras, rekaman kamera CCTV dan saksi-saksi yang sebelumnya sudah diperiksa tim pencari fakta maupun Komnas HAM.

4. Tuntutan yang tidak logis

Pilihan jaksa untuk menuntut pelaku penyiraman dengan hanya hukuman satu tahun penjara disebut mencederai keadilan.

Pasalnya, dalam pasal yang termuat dalam dakwaan subsidair, jaksa memiliki opsi menuntut maksimal tujuh tahun penjara, namun jaksa hanya menuntut hukuman satu tahun penjara.

Pukat UGM menyebutkan, tuntutan yang ringan dalam kasus penyerangan terhadap aparat penegak hukum yang menangani kasus antikorupsi, dapat membuat aparat penegak hukum lain takut jika ingin menegakkan keadilan.

Lembaga tersebut juga membandingkan kasus Novel dengan kasus Lamaji di Mojokerto. Menurutnya, dakwaan JPU dalam kasus Novel sangat ringan jika dibanding dengan kasus Lamaji yang dakwaannya menggunakan alternatif gabungan dengan tuntutan 15 tahun penjara.

5. Aktor intelektual tidak diungkap

Kejanggalan ke-lima yang ditulis Pukat UGM adalah JPU tidak mengungkapkan siapa aktor intelektual maupun motif dari penyerangan terhadap Novel.

Menurut Pukat UGM, motif kedua pelaku tidak kuat. Kedua pelaku mengatakan tindakannya terhadap Novel dilakukan atas dasar ketidaksukaan karena dianggap telah mengkhianati dan melawan institusi Polri.

Kedua terdakwa yang tidak pernah bertemu dan tidak memiliki hubungan khusus dengan Novel juga makin mempertegas kelemahan motif keduanya.

Atas kelima hal tersebut, Pukat UGM berpendapat bahwa tuntutan JPU yang sangat ringan terhadap pelaku mencederai rasa keadilan masyarakat dan berdampak buruk pada upaya pemberantasan korupsi.

Pukat UGM juga berharap kepada Majelis Hakim agar bertindak adil dalam memberikan putusan terkait perkara tersebut.

“Hakim memiliki kebebasan dalam menentukan berat ringannya hukuman, termasuk menjatuhkan hukuman pidana melebihi tuntutan jaksa sepanjang untuk memberi rasa keadilan masyarakat,” tulis Pukat Korupsi UGM.

“Hakim diharapkan mampu melihat kasus ini secara keseluruhan, mempertimbangkan secara obyektif dan menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya tidak hanya bagi korban tetapi juga bagi rasa keadilan masyarakat,” pungkasnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak