Antropolog Aris Mundayat Sebut Ghibah Ada Sejak Abad Ke 8, Ini Buktinya

Selama puluhan abad, kegiatan ghibah ini sendiri hidup dan berkembang di tengah masyarakat.

Galih Priatmojo | Mutiara Rizka Maulina
Rabu, 26 Agustus 2020 | 20:06 WIB
Antropolog Aris Mundayat Sebut Ghibah Ada Sejak Abad Ke 8, Ini Buktinya
Quote film Tilik - (YouTube/Ravacana Films)

SuaraJogja.id - Antropolog, Aris Mundayat memberikan komentarnya mengenai fenomena ghibah dalam film Tilik. Ia menyebutkan, jika budaya membicarakan keburukan orang lain, sudah ada sejak abad ke 8 Masehi.

Aris mengatakan, jika kegiatan membicarakan keburukan orang lain yang dilakukan oleh masyarakat, terpahat dalam relief Candi Borobudur yang diperkirakan ada sejak abad ke 8 Masehi.

Selama puluhan abad, kegiatan ghibah ini sendiri hidup dan berkembang di tengah masyarakat. Kontestasi kritik di tengah masyarakat, seolah menunjukkan adanya ruang publik di luar ruang publik yang nyata.

Dalam kehidupan sehari-hari kegiatan membicarakan aib orang lain bisa ditemukan di banyak tempat. Baik di gardu ronda, tempat nongkrong mahasiswa, dosen dan sebagainya.

Baca Juga:Kadispar Gunungkidul Ungkap Tantangan Kelola Wisata di Era New Normal

"Ada dua kritik mengenai film Tilik, pertama adalah mengenai stereotyping perempuan," ujar Aris dalam webinar bersama Impulse Yogyakarta Rabu (26/8/2020).

Aris mengatakan, bahwa stereotyping yang ada di film Tilik terletak pada apa yang diucapkan oleh Bu Tejo. Ia menyebutkan bahwa itu merupakan reproduksi alam patriarki yang dihidupkan melalui kegiatan ghibah.

Bu Tejo tidak dilihat hanya sebagai orang yang senang menunjukkan hartanya. Namun, sosok Bu Tejo juga menunjukkan bahwa posisi perempuan berada di bawah patriarki. Namun hal tersebut bukanlah sesuatu yang disadari. Melainkan sudah menjadi hal yang terjadi dan diproduksi dalam kehidupan sehari-hari.

Selanjutnya Aris juga menilai, bahwa kegiatan ghibah merupakan sebuah bentuk perlawanan kepada kaum yang lemah. Dalam film Tilik, ia menilai bahwa pihak yang diserang adalah Bu Lurah.

"Ia dikasihani tapi sekaligus diserang, ia dikatakan sebagai orang yang tidak punya suami kok jadi lurah," terang Aris.

Baca Juga:Era Adaptasi Kebiasaan Baru, Wisawatan Sleman Perlu Daftar Online

Dalam scene itu ditunjukkan, bahwa Bu Tejo mencoba mereproduksi patriarki kedalam bentuk posisi politik suaminya. Walaupun secara terus menerus, Bu Tejo mengelak bahwa dirinya mempromosikan sang suami.

Selama sepuluh menit pertama film diputar, Aris mengaku masih menangkap kesan alamiah dalam cerita yang disajikan. Namun, pada 10 hingga 15 menit terakhir film diputar, ia merasa cara penyampaian ghibah Bu Tejo terlalu dilebihkan dengan ekspresi pendukung dan sebagainya.

Dimana hal itu, dikatakan Aris bisa menurunkan kualitas film tersebut. Sebab, tanpa disadari dalam pembuatan film itu ada kegiatan yang menyebabkan timbulnya penyampaian nilai negatif yang bersinggungan dengan stereotyping.

Aris menilai kedepannya, penting untuk sutradara dan penulis naskah untuk memperhatikan penyampaian pesan-pesan dalam membuat film agar tidak menimbulkan stereotyping yang bisa menjadi bahan komentar kelompok tertentu.

"Nah ini yang perlu dihindari kedepan soal teknik film. Itu artinya kita perlu mempelajari dari semua komentar yang melibatkan jutaan orang ketika mereka memberikan komentar untuk film tersebut. Disitu saya lihat untuk kedepan sebuah film pendek seperti ini tanpa harus essentializing perempuan," imbuh Aris.

Berikutnya, Aris menyampaikan dalam adegan Bu Tejo mengambil informasi dari internet, sebagai sebuah kritik sosial. Dimana ada poin penting yang disampaikan kepada khalayak untuk berfikir dua tiga kali ketika melihat ke dalam internet.

Kemudian, hal menarik lainnya film ini menunjukkan bahwa apa yang dikatakan Bu Tejo adalah hal yang benar. Karena kemudian, Dian berrelasi dengan mantan suami Bu Lurah. Dimana calon suaminya berhadapan dengan anaknya dan Bu Lurah adalah sosok yang diserang.

Pada relief Candi Borbobudur yang menggambarkan kegiatan ghibah, orang-orang yang melakukan hal tersebut secara agama berada dalam strata moral terendah. Dalam agama apapun juga, ghibah diletakkan dalam level terendah.

Umur ghibah sendiri menurut Aris sudah ada sejak ribuan tahun lamanya. bahkan mungkin sebelum adanya agama di muka bumi ini sudah ada kegiatan ghibah. Hal tersbeut membuatnya bertanya, kenapa ghibah masih terus hidup dan berkembang di tengah masyarakat.

Mengutip pernyataan seorang tokoh, Aris mengartikan, bahwa ghibah atau rasan-rasan adalah sebuah keresahan oleh orang-orang tertindas. Namun, pendapat menarik lainnya juga menyebutkan, bahwa ghibah adalah senjata untuk melawan kaum yang lemah.

"Ghibah selalu muncul dalam konteks persaingan, dan itu artinya ada persaingan tapi tidak ada jalan keluarnya secara langsung," tukasnya.

Selanjutnya, Direktur Impulse Yogyakarta, Gutomo Priyatmono menyampaikan bahwa ia melihat adanya dualisme kelas dalam tayangan berdurasi 32 menit tersebut. Yakni, adanya orang yang dipanggil 'bu' atau 'jeng' dengan orang yang dipanggil 'Yu'.

Dalam perspekstif Marxis secara klasikal, terlihat adanya stratifikasi atau pengkastaan. Dimana ada yang lebih tinggi dan lebih rendah. Oleh karena itu dicantumkan dalam film itu dimana Bu Tejo sebenarnya enggan naik truk dan tidak mau bantu mendorong saat mogok.

"Digambarkannya ada ekslusifitas yang dimiliki oleh Bu Tejo dan semakin nyata sekali saya tidak melihat Bu lain untuk bu yang lainnya," ujar Gutomo menambahkan.

Namun, film ini juga seolah menyanggah teori James Scott mengenai tidak adanya lawan yang tertandingi. Sementara dalam masyarakat Jawa Gutomo melihat adanya lawan dimana-mana bahkan bisa berposisi sebagai kawan.

Hal menarik lainnya, keberadaan masyarakat komutarian ini. Gutomo mengatakan jika teori-teori dari barat bisa tidak berguna atau disanggah oleh keberadaan masyarakat komutarian. Seperti negara Jepang dan Korea yang dulunya komutarian, bisa menjadi sangat maju setelah meninggalkan komutarian.

Berbeda pendapat dengan Aris, Gutomo menganggap bahwa dalam film Tilik ini yang diserang adalah normalitas. Dimana kondisi Bu Lurah dinilai tidak normal, yakni sebagai sosok orangtua tunggal yang memiliki jabatan kepemimpinan.

Oleh karena itu, terjadilah penyerangan kepada Bu Lurah. Bukan karena ia pihak yang lemah namun karena ia adalah sosok yang tidak normal. Munculnya, Dian di scene terakhir bersama mantan suami Bu Lurah juga dilihat sebagai penyerangan kepada sosok laki-laki yang dinilai tidak bertanggungjawab.

Dari judulnya sendiri Gutomo melihat pentingnya tilik dalam menggambarkan komunalitas yang nyata. Di sisi lainnya, semakin nyata komunalitas justru menunjukkan ketidakberadaan pemerintah untuk masyarakat.

"Karena dulu negara itu bersifat menghisap rakyatnya, maka dibutuhkan pertolongan dari komunalnya, dan mudah-mudahan dengan adanya BPJS ini fenomena tilik akan pelan-pelan menghilang," tukas Gutomo.

Terakhir, Gutomo mengistilahkan film ini selayaknya gado-gado yang disajikan dalam satu piring. Dimana terlihat ada banyak hal yang disajikan dalam satu tayangan yang harus dicerna bersama-sama pula. Meskipun akhirnya tidak bisa dirasakan secara pasti apa yang dikonsumsi.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Lifestyle

Terkini

Tampilkan lebih banyak