Sejak kapan Eyang mulai ikut trend dan memakai media sosial?
Eyang emang selalu mengamati perkembangan di masyarakat, saya selalu berusaha mengikuti. Makanya eyang punya website, itu dari tahun 90-an mungkin, awal website masuk ke Indonesia, yang waktu itu masih di handle oleh Jakarta karena dulu ada 1 company yang mengurusi itu.
Sampai ketipu dulu, karena masih gaptek jadi dikerjain, Eyang upload foto baru bayar 150.000 gitu, pokoknya bayar gitu, jadi Eyang kayak gaji mereka kan ya. Terus gimana caranya Eyang belajar sendiri. Alamat web Eyang malah dijual. Ada ya orang Indonesia yang kelakuannya kayak gitu. Setelah dilacak sama teman Eyang dari Amerika, ternyata dijualnya di Australia. Waktu ditanya berapa belinya, woh berapa juta, banyak kalau tahun itu.
Lalu kalau YouTube ternyata eyang sudah mulai sejak tahun 2008 atau 2006 gitu, karena Eyang bikin pagelaran pentas itu sudah masuk ke Youtube. Tapi waktu itu tidak tahu kalau bisa dimonetize, bisa ngehasilin duit, dulu YouTube ya untuk ngeshare video pentas biar orang luar bisa nonton itu. Memang ada dampaknya juga seperti ada undangan ke beberapa universitas di Amerika, Jepang, Eropa karena lihat di YouTube Eyang awalnya. Jadi video di YouTube waktu itu hanya untuk promosi.
Baca Juga:Pentas di Tengah Pandemi, Didik Nini Thowok: Tidak Bisa Tampil Loss
Tapi sejak pandemic covid-19 ini, Eyang baru tahu kalau Youtube itu menghasilkan. Baru kemudian Yayasan yang membantu saya, dia ngecek ternyata subscribernya udah 22.000 sekian. Maret kemarin digarap lebih serius, hingga sekarang udah bisa menghasilkan. Bayangkan baru 5 bulan, ya belum dapat banyak tapi paling tidak udah bisa diaktifkan. Itu yang turun tangan yayasan.
Eyang setelah ini akan mengembangkan lebih lagi tidak untuk YouTube-nya atau bahkan mau jadi Youtuber Eyang?
Kalau bisa jadi Youtuber ya syukur. Tapi ke depan tetap bikin konten YouTube karena sekarang kan di YouTube yang laris yang gak ada edukasinya. Padahal banyak banget channel yang menyisipkan muatan edukasi, yang mengangkat seni kebudayaan Indonesia. Itu kalau dinilai bagus dan bermanfaat ya, tapi kalah heboh sama yang populer dan minim makna edukasi.
Mungkin kalau eyang bikin sesuatu yang buat viral bisa kali ya, yang nari-nari gitu ya pasti viral hahaha. Mudah-mudahan ke depannya masyarakat kita akan lebih loyal terhadap tayangan-tayangan yang sarat dengan nilai dan makna.
![Didik Nini Thowok saat ditemui di sanggarnya, Sabtu (11/7/2020). [Mutiara Rizka M / SuaraJogja]](https://media.suara.com/pictures/original/2020/07/11/33978-didik-nini-thowok.jpg)
Kalau Eyang sendiri membaca dan mengikuti respons warganet di media sosial Eyang tidak?
Baca Juga:Vakum Lama Akibat Corona, Didik Nini Thowok Muncul Bawakan Tari Ponorogo
Iya, dari situ eyang melihat bagaimana penilaian masyarakat. Dari situ eyang melihat bahwa sebenarnya generasi millenial itu bukan tidak peduli sesuatu yang punya nilai, hanya saja mereka tidak tahu karena orang tuanya tidak mengenalkan ke mereka. Jadi kuncinya adalah orang tua pertama kali. Selain itu kemudian baru sekolah. Tapi kalau orang tua tidak punya wawasan budaya ya mau gimana karena nantinya itu tidak terlepas dari kaitannya dengan konten-konten yang ditonton. Itu sangat-sangat berdampak.
Sebenarnya kalau di TV sendiri itu ada yang tayangan kurang bermutu lah, tapi itu malah yang laris. Yang paling banyak ditonton, yang mendatangkan banyak duit, itu malah yang kurang makna-maknanya tadi. Itu yang terjadi di negara kita, atau entah di negara lain apakah juga kayak gitu. Kalau di Jepang ada acaranya yang konsisten edukasi budaya. Harusnya di Indonesia juga punya banyak pilihan channel TV. TV yang konsen terhadap edukasi budaya, tv yang memang hiburan, jadi ada pilihan. Tapi kalau semua TV itu hiburan yawis modar. Jadi jangan salahkan masyarakatnya jika tidak peduli seni budaya, menjadi tidak dekat dengan seni budaya itu kan salah satunya karena program TV. Itu boleh dibuktikan ya. Kalau benar ya diam aja, kalau salah jangan diikuti.
Di luar negeri sering banyak punya banyak pilihan channel Eyang.
Benar, banyak pilihan. Kenapa Indonesia tidak bikin itu, kan bisa banget. Misal satu tv itu khusus untuk bahas tradisi seluruh Indonesia. Bayangin itu gak ada tandingannya dari luar negeri. Kalau di luar negeri ada channel satwa, Indonesia aslinya juga bisa karena banyak hewan yang khas. Tapi kan belum ada yang punya pikiran kesana kan. Kita sudah punya potensi, tinggal siapa yang punya kemauan dan bisa memunculkannya. Misal kalau seni budaya di Indonesia itu ada berapa coba. Menarik, edukasi, orang Indonesia sendiri mungkin belum tahu seluruhnya, bikin jadi lebih aware tentang arti kebhinekaan dan perbedaan. Indonesia memang sarat akan hal itu, tapi kalau tidak dimunculkan akan tahu darimana. Karena kan jaraknya jauh-jauh, gak semua orang mungkin bisa datang langsung. Nah itu salah satunya bisa diselesaikan oleh TV toh.
Next Project dalam waktu dekat Eyang apa baik di media sosial atau langsung gitu?
Kalau di medsos Eyang masih menyiapkan nomor tari yang berkaitan dengan tradisi di Dayak. Kita siapkan kostumnya, musiknya. Itu didatangkan langsung ya lewat sahabat-sahabat Eyang karena emang Eyang gak suka yang imitasi. Maunya yang asli, bulu ya asli, paruh ya asli, manik-maniknya asli. Jadi Eyang bisa sebut perfectionis lah, bukan KW. Jadi Eyang memang menampilkan yang punya mutu dan berkualitas. Kalau gak gitu nanti orang asing mikir kita gak punya kualitas.