![Ilustrasi cover buku Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965. [Ikbal Saputro / grafis SuaraJogja.id]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2020/09/29/74506-buku-lekra-tak-membakar-buku.jpg)
"Saya masih ingat ruangan itu baunya menyengat sekali. Koran-koran Harian Rakyat yang bertumpuk itu dipenuhi kotoran cecak hingga tikus. Rekan saya Muhidin sampai sakit lantaran tak kuat berlama-lama di ruangan tersebut," ceritanya mengingat proses pengumpulan data saat itu.
Ia mengaku proses pengumpulan sumber Lekra saat itu harus dilakukan berkejaran dengan waktu. Sebab, berdasar informasi dari pihak perpustakaan, berbendel-bendel koran yang terletak di kamar terlarang itu akan dibawa oleh Kejaksaan Agung ke Jakarta.
"Kebetulan saat itu momennya pemerintah sedang gencar melakukan pengamanan terhadap segala hal yang berbau Kiri. Informasinya sih termasuk koran-koran harian Rakjat yang tersimpan di perpus daerah juga akan diambil ke pusat. Kami cuma punya waktu 3 hari untuk mengumpulkan semua sumber saat itu. Jadi pagi-pagi gitu sudah sampai di perpustakaan untuk menulis ulang. Akhirnya kami bagi tugas, saya menulis untuk bagian sastra, seni, ketoprak, wayang. Dan bung Muhidin di bagian lainnya," ujar dia.
Rhoma tak ingat betul tanggal dan bulan apa saat perintah menarik bebagai sumber beraliran kiri itu dilakukan. Namun memang benar, setelah tiga hari berlalu, sumber surat kabar tersebut sudah tidak ada lagi di dalam perpustakaan. Beruntung banyak lembar surat kabar yang telah diselamatkan dalam bentuk tulisan. Dari situ, Rhoma dan Muhidin mulai menyeleksi dan menjahit sumber yang ada jadi buku.
Baca Juga:Terdampak Tol Jogja, Sebagian Warga Tirtoadi Diminta Relokasi Mandiri
Dirangkai selama 1,5 tahun
Proses memindah ratusan ribu tulisan ke dalam sebuah buku juga memiliki cerita di baliknya. Dalam memberikan judul, Rhoma saat itu mendiskusikan dengan rekannya, Muhidin.
Pria yang lebih akrab disapa Gus Muh ini adalah yang memberikan judul buku. Lekra Tak Membakar Buku adalah judul yang disematkan di dalam buku itu diambil dari sebuah essay milik Gus Muh yang pernah diterbitkan di salah satu media ternama di Indonesia.
"Pada 2005 itu saya buat essay dan terbit di surat kabar Jawa Pos. Nah essay yang saya beri judul itu saya berikan ke dalam buku yang kami buat tahun 2008," terang Gus Muh saat ditemui di Museum Sonobudoyo, Rabu (23/9/2020).
Merangkum Harian Rakjat selama 1,5 tahun di dalam perpustakaan diakui Gus Muh tidak ada kendala seperti intimidasi atau ancaman. Pasalnya ketika itu masih dalam era reformasi dimana aktivitas masyarakat terkesan bebas.
Baca Juga:Prakiraan Cuaca Jogja Hari Ini, Selasa 29 September 2020
Selama di perpustakaan mereka hanya menulis ulang surat kabar itu, tanpa membuat hal lain yang mengundang kecurigaan.