SuaraJogja.id - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyebutkan, resesi ekonomi 2020, sebagai dampak pandemi COVID-19, ikut menjerat Indonesia. Di sisi lain, ekonom Universitas Islam Indonesia (UII) Jaka Sriyana menilai, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) masih memiliki sejumlah poin positif yang bisa menjadi bekal bagi masyarakat di Kota Pelajar ini dalam menghadapi resesi tersebut.
Sembari membenarkan adanya penurunan pertumbuhan ekonomi Indonesia di tiap kuartal secara statistik, menurut Jaka, DIY relatif terkena dampak perlambatan ekonomi yang cukup signifikan. Terlebih, sektor utama penggerak ekonomi DIY adalah pendidikan, pariwisata (edutourism sector), dan UMKM.
"Mahasiswa adalah sumber utama transaksi ekonomi di Jogja selain pariwisata. Mahasiswa tidak berada di Jogja, mereka kembali ke daerah masih-masing. Maka sementara selama pandemi, diketahui dua sektor [pendidikan dan pariwisata] ini 'lumpuh'," kata dia, Jumat (2/10/2020).
Adanya sejumlah universitas yang sudah menggelar tatap muka saat ini dipandang Jaka juga belum maksimal bisa mengatrol transaksi ekonomi di Jogja.
Baca Juga:Pakar Minta Ekonomi Digital yang Telah Terbangun Harus Dijaga
Ia menduga, tatap muka yang digelar sejumlah Perguruan Tinggi (PT) sifatnya masih insidental, bukan massive class.
"Belum berani dengan kondisi seperti sekarang ini. Saya optimistis pertengahan tahun depan tatap muka yang sifatnya massive bisa dimulai. Diperkirakan setelah itu, pelan-pelan mengembalikan ekonomi DIY," tambah Jaka.
Sementara di sisi UMKM, dampak resesi tidak sebesar yang terjadi pada pendidikan dan pariwisata, sehingga diperkirakan UMKM akan bangkit lebih awal.
Rektor UII Prof Fathul Wahid mengatakan, dari total 357.544 mahasiswa di DIY, sebanyak 77% di antaranya (275.308 mahasiswa) merupakan mahasiswa pendatang.
Pandemi COVID-19 telah membuat sekitar 73% mahasiswa pendatang tersebut, atau lebih dari 200.975 orang, memutuskan untuk meninggalkan DIY sementara waktu.
Baca Juga:Aktivitas Ekonomi Bisa Tetap Jalan Jika 3M Diterapkan
Kondisi itu menyebabkan potensi uang yang berputar di DIY berkurang hingga Rp833,9 miliar per bulan atau sama dengan Rp27,8 miliar per hari.
"Data tersebut menunjukkan bahwa pandemi Covid-19 telah berdampak terhadap semua sektor, tak terkecuali sektor pendidikan di DIY," ujarnya.
Fathul menyebut, hal itu tetap terjadi kendati citra Kota Pelajar sudah melekat pada DIY sejak lama, termasuk pula biaya hidup yang terjangkau dan ragam pilihan perguruan tinggi yang berkualitas, yang dianggap menjadi daya tarik calon mahasiswa dalam memilih DIY sebagai tempat belajar.
"Sayangnya, pandemi Covid-19 yang tak kunjung berakhir, menciptakan keterbatasan bagi calon mahasiswa untuk mengikuti seleksi mahasiswa baru," ungkapnya.
Kunci recovery DIY: Local demand, local supply
Jaka Sriyana mengungkapkan, DIY memiliki karakter khas yang bernilai positif dalam membantu masyarakat setempat menghadapi resesi ini.
Selain kapasitas masyarakat lokal sendiri, aktivitas ekonomi di DIY ditopang dengan adanya permintaan masyarakat lokal terhadap barang primer dan bisa disediakan oleh masyarakat lokal sendiri. Dengan demikian, ekonomi akan berjalan level minimal.
"Ini daerah yang tidak menjadikan jasa sebagai faktor besar. Tapi local demand, local supply ini jadi faktor penting positif bagi DIY. Saya juga masih melihat masyarakat DIY bersikap positif dalam merespon protokol kesehatan masih relatif taat. Recovery perlahan bisa mulai awal tahun depan, pertengahan tahun depan mudah-mudahan bisa kembali," ungkap Jaka.
Sementara itu, ketika sektor wisata bisa bergerak terbatas dan tetap mengedepankan protokol kesehatan, itu bisa menjadi tambahan.
"Pendidikan kita harapkan juga bisa kembali dan di sanalah recovery itu terjadi," paparnya.
Jaka memperkirakan, ke depan masih dimungkinkan adanya pertumbuhan UMKM baru di DIY, terutama yang bergerak di bidang penyediaan kebutuhan primer.
Pertumbuhan usaha bisnis di bidang penyediaan kebutuhan primer itu dimungkinkan terjadi sampai pertengahan tahun depan, sedangkan dalam sektor lain jumlahnya masih terbatas.
Kala ditanya apa yang bisa dilakukan masyarakat dalam menghadapi resesi, pertama-tama Jaka mengingatkan kembali, masyarakat harus lebih dahulu mengetahui apa yang menjadi prioritas -- kesehatan atau ekonomi.
"Kalau saya, jelas kesehatan, yaitu hati-hati, beraktivitas sesuai protokol kesehatan nomor 1. Untuk ekonomi, setidaknya bisa mengamati kebutuhan masyarakat primer, itu yang kemudian bisa diusahakan, dengan proses penjualan yang memperhatikan protokol kesehatan itu," tutur dekan Fakultas Bisnis dan Ekonomika UII ini.
Namun yang unik, ia juga melihat sektor properti di DIY mulai bergerak perlahan. Belum rigid dari statistik, melainkan hal itu diamati lewat aktivitas kantor dan proyek properti yang sudah mulai berjalan. Utamanya proyek yang sempat mangkrak di masa awal pandemi.
Langkah itu diperkirakan sudah berani diambil karena tidak semua anggaran infrastruktur dialihkan 100% untuk COVID.
Kontributor : Uli Febriarni