SuaraJogja.id - Ada cara unik yang dilakukan oleh masyarakat Kalurahan Nglindur, Kapanewon Girisubo, Gunungkidul untuk mengusir virus Covid-19 dari wilayah mereka. Warga menggelar tradisi rasukan dan upacara Buang Sukerto, sebuah upacara tradisi yang digelar untuk membuang hal-hal negatif dari hidup mereka.
Masyarakat Kalurahan Nglindur memang tetap berusaha menjaga tradisi budaya salah satunya adalah rasulan. Sebenarnya, ada kekhawatiran jika rasulan tetap digelar meski Pandemk Covid-19 menjadi sarana penyebaran virus tersebut. Namun masyarakat tetap bersikeras menggelar prosesi rasulan meski dilakukan dengan prosesi yang lebih sederhana.
Lurah Nglindur, Supriyana mengatakan, perayaan rasulan di Kalurahan ini biasanya digelar dengan berbagai kemeriahan dan hiburan rakyat. Namun kali ini berbeda dengan tahun tahun sebelumnya hanya doa bersama sejumlah tokoh masyarakat dengan membawa berbagai makanan di tempat terbuka.
"Alasannya agar mengurangi resiko penularan Covid-19,"ujar Supriyana, Minggu (11/10/2020) di sela acara.
Baca Juga:APK Dirusak, Tim Immawan-Martanty Lapor Ke Bawaslu Gunungkidul
Rasulan dan buang sokerto merupakan ungkapan rasa syukur warga menjelang musim tanam tiba dan membuang hal hal negatif di dusun tersebut agar terhindar dari berbagai penyakit dan mala petaka. Menurutnya, buang sokerto ini sebagai upaya warga masyarakat di Nglindur terhindar dari pagebluk termasuk Covid-19.
"Ini dilakukan agar tak tertular Covid-19, bukan hanya covid saja melainkan hal hal lainya juga,"tambah Supri.
Menurutnya, perayaan Rasulan tahun ini berbeda dengan tahun sebelumnya. Hiburan ditiadakan, tidak ada gelak tawa keluarga atau teman yang datang ke rumah yang merayakan rasulan. Kalapun ada jumlahnya hanya sedikit karena mesti memperhatikan protokol kesehatan.
Tak banyak pula sanak saudara yang berkunjung ke rumah untuk merayakan rasulan. Padahal sebelumnya tradisi ini menjadi sarana silaturohmi. Masyarakat biasa menyediakan berbagai jenis makanan untuk teman atau saudara yang datang.
"Biasanya Rasulan ini sudah seperti hajatan, seluruh warga masak banyak. Namun tahun ini masaknya lebih sedikit, karena untuk hantaran ke saudara, dan kenduri saja," Ungkapnya.
Baca Juga:Ada Isu Tsunami 20 Meter, Wisatawan ke Pantai Gunungkidul Susut 1000 Orang
Upacara kenduri pun dilakukan di tempat terbuka, lanjut Supri, mengingat upacara tradisi ini tidak bisa menghitung siapa saja yang datang sehingga lebih efektif agar dapat menjaga jarak aman dilakukan di pinggir jalan.
Upacara ritual pun dimulai sekitar Pukul 13:00 wib, warga masyarakat yang dating menunggu kehadiran Cucu HB ke VIII Gusti Kukuh hertriyasning pun berdiri ketika beliau berjalan menuju tempat ritual adat. Dengan berpakaian adat jawa dan diikuti oleh sesepuh adat Dusun Nglindur, upacarapun dimulai dengan doa agama islam.
"Seluruh makanan yang dibawa warga ditempatkan di meja yang telah disiyap untuk disedekahkan dan nantinya akan mekan bersama sama,"paparnya.
Tradisi rasulan biasanya melewati prosesi panjang, beberapa hari sebelum pelaksanaan sudah dilakukan ritual namun hanya doa bersama dan langsung ke Puncak acara. Puncak utamanya adalah ziarah Ke Petilasan Bondan Surati, petilasan tersebut dipercaya warga dapat mendatangkan keberkahan dan menolah mara bahaya.
Cucu HB VIII, Gusti Kukuh Hertriyasning mengatakan, tradisi rasulan biasanya dilakukan sejak bulan April hingga bulan Juli. Namun, karena saat ini masa pandemic maka tidak melibatkan massa dalam jumlah banyak.
“ini dilakukan secara mandiri dengan hanya melakukan kenduri sederhana dan ritual,"Jelas Gusti Aning
Dirinya mengimbau kepada masyarakat, dalam melaksanakan rasulan ini juga harus mengikuti anjuran pemerintah agar menjaga jarak, mencuci tangan, dan selalu menggunakan masker.
“warga sudah sadar, tetapi memang harus di sadarkan lagi agar lebih berhati hati” ungkpanya.
Saat disinggung terkait budaya, Ia menuturkan, bahwa Tradisi Rasulan ini merupakan satu dari sekian banyak upacara tradisi di wilayah Gunungkidul bahkan di Yogyakarta dan menjadi warisan leluhur agar terjaga.
“iya, salah satu yang membuat Yogyakarta ini Istimewa adalah Rasulan. Walaupun masa pendemi, tradisi ini tetap dilaksanakan”, ucap Aning.
Ia berharap, bahwa tradisi tradisi semacam ini tetap dilaksanakan meski harus mengikuti protocol kesehatan. Terlebih, jangan sampai penerus sejarah Yogyakarta hanya mendapat cerita bukan sebagai pelaku sejarah.
Kontributor : Julianto