SuaraJogja.id - Pandemi Covid-19 yang telah setahun lebih bercokol di Indonesia nyatanya tak hanya berdampak buruk bagi kesehatan masyarakat. Sektor lain terutama Industri pariwisata turut mengalami dampak yang dahsyat.
Di Yogyakarta, puluhan hotel terpaksa gulung tikar sebagai imbas kebijakan pembatasan mobilitas masyarakat untuk meredam penyebaran Covid-19. Karyawannya pun harus menerima kenyataan pahit dirumahkan.
Hal ini seperti dialami oleh salah satu pekerja Hotel Grand Quality, Nur Aisyah, yang telah dirumahkan tanpa status yang jelas sejak April 2020 lalu. Tindakan itu diduga juga merupakan akibat dari dampak pandemi Covid-19.
Padahal, Nur mengaku sudah mengabdi kepada perusahaan tempatnya bekerja sejak tahun 1992 silam. Namun pandemi Covid-19 ternyata memang mengubah segalanya.
Baca Juga:10 Hotel di Jogja yang Nyaman dan Aesthetic dengan Harga di Bawah Rp350.000
"Kami bekerja dari 1992 sampai terakhir bulan April 2020. Kami tidak diberitahu [secara pasti] cuma kita libur karena Covid-19 semua karyawan dari GM sampai pelayan itu dirumahkan atau diliburkan tanpa ada apa-apa," kata Nur.
Pengabdian sejak 1992 itu membuat Nur telah banyak mencicipi asam manis industri pariwisata. Berbagai jabatan di tempat kerjanya pun sudah pernah dirasakan, mulai dari sebagai Front Office, Sales Marketing hingga terakhir menjadi Housekeeping Administrasi.
Nur ternyata tidak sendiri, sebanyak 54 karyawan hotel lainnya juga mendapat kondisi serupa. Hal itu diketahui setelah ia bersama rekan-rekannya, berinisiatif untuk mengecek kejelasan status mereka ke BPJS ketenagakerjaan.
Sebab menurut informasi yang diterima Nur, para pekerja yang terdampak Covid-19 akan mendapat bantuan dari presiden. Namun pada kenyataannya bantuan itu tak kunjung datang.
"Setelah kami ngecek nama kami [di BPJS Ketenagakerjaan] ternyata tidak ada dan ternyata ditutup oleh perusahaan," ungkapnya.
Baca Juga:3 Pelaku Penipuan Ditangkap di Hotel di Jogja, Ternyata Satu Keluarga
Mereka, para karyawan lain sudah melakukan mediasi dengan pihak pengusaha. Namun hasilnya masih belum sesuai seperti yang diharapkan.
Hingga pada akhirnya mediasi itu dibantu oleh Dinas Ketenagakerjaan, antara pengusaha dan pekerja. Dengan hasil, melahirkan nota anjuran pembayaran pesangon.
Padahal, Nur menyatakan sebelumnya perusahaan tidak pernah sekalipun membayar telat dalam menuaikan hak dari para karyawannya. Namun hanya saat pandemi Covid-19 ini yang membuat kondisi ekonomi baik karyawan dan perusahaan sama-sama tergoncang.
Kini ia dan rekan-rekan pekerja lainnya, berharap perusahaan dapat memberikan hak normatif pekerja berupa pesangon yang sesuai seperti yang sudah ada di dalam anjuran dari Dinas Ketenagakerjaan tadi.
"Ya kami harap pengusaha terbuka hatinya segera beri hak-hak normatif kami karyawan. Sebab kami telah ditelantarkan satu tahun," katanya.
Harga hotel turun 20 persen
Selain terpaksa memutus kerja para karyawan, tak sedikit di antara pengusaha hotel kemudian terpaksa melakukan jual aset guna menutup bengkaknya kerugian akibat pandemi Covid-19. Aktivitas tersebut pun bisa ditengok lewat sejumlah laman jual beli online, dimana banyak hotel yang melego asetnya di masa pandemi ini.
Salah seorang perantara dalam jual beli hotel, Yusuf Sihombing, menuturkan bahwa bisnis jual beli properti adalah hal yang wajar dilakukan oleh para pengusaha. Terlebih lagi untuk hotel yang terhimpit situasi akibat pariwisata yang turun.
"Hotel itu sebenarnya kan juga masuk di dalam bisnis ya, jadi hal yang wajar dalam dunia bisnis. Sama seperti jual beli properti, kost-kostan, atau rumah. Kenapa sekarang terkesan banyak banget mungkin karena memang pariwisata turun. Dan itu hal wajar dalam bisnis apalagi kondisi sekarang gini," kata Yusuf.
Yusuf menyatakan peningkatan dalam urusan jual beli hotel pun sebenarnya tidak terjadi selama pandemi Covid-19 ini. Perubahan yang terjadi justru pada penurunan harga yang dilakukan pemilik hotel saat menjual asetnya.
"Sebenarnya peningkatan sih tidak ada cuma malah kepada penurunan harga. Maksudnya pemilik hotel lebih menurunkan harga jualnya mereka. Ingin menjual cepat karena pengusaha rata-rata pinjam di bank, atau kredit gitulah. Sama seperti bangun rumah banyak orang pinjem ke bank, hotel juga gitu tapi lebih gede nominalnya," terangnya.
Menurut Yusuf, pemilik hotel memilih untuk menjual hotelnya karena tingkat okupansi yang masib rendah. Sebelum pandemi Covid-19 hotel rata-rata bisa menerima tamu atau okupansi hotel bisa mencapai 70-90 persen.
Sedangkan saat pandemi Covid-19, okupansi itu benar-benar anjlok hampir tak tersisa. Bahkan bisa saja tingkat keterisian hotel hanya 5 persen.
"Otomatis menyebabkan hilang omzet. Sehingga harus nombok listrik operasional dan segala macam. Akhirnya mereka memilih menjual. Tapi sebelum pandemi memang sudah ada beberapa yang niat menjual hotel. Ya itu tadi karena pemilik juga tertekan oleh kreditur," tuturnya.
Yusuf menjelaskan untuk harga hotel sendiri bervariasi tergantung pada status bintang hotel itu sendiri dan lokasinya. Sedangkan untuk rata-rata penurunan harga hotel di masa pandemi Covid-19 bisa mencapai 10-20 persen.
"Kalau hotel bintang dua [harga] sekitar Rp15-30 miliar tergantung tren lokasi. Kalau bintang 3 sekitar Rp50-150an miliar. Untuk bintang 4 sudah di atas Rp200 miliar. Saat pandemi biasanya diturunin harganya sampai 10-20 persen. Tergantung kepepetnya si pemilik hotel. Biasanya kalau pemilik kepepet banget itu dinego berapa aja kadang mau. Kemarin [hotel] yang di Semarang laku itu karena di nego jauh, dari Rp45 miliar sampai Rp29 miliar. Saya juga kaget ternyata mau," paparnya.
Dijelaskan Yusuf, menjual hotel merupakan langkah cepat dari pemilik hotel. Artinya demi mendapatkan fresh money untuk membayar kreditur maka menjual hotel salah satu opsinya.
Walaupun sebenarnya setelah bulan Juli 2020 lalu, kata Yusuf, tingkat okupansi hotel khususnya di Jogja sudah mulai membaik. Kendati memang tidak bisa kembali seperti semula menjadi 70 persen tapi rata-rata sudah berkisar di angka 40-60 persen kamar sudah mulai laku.
"Ya itu, salah satu cara pengusaha, ya wajar namanya pengusaha mereka berusaha, untuk mendapatkan fresh money untuk membayar kreditur. Salah satu mendapat uang ya menjual salah satu asetnya," imbuhnya.
Bukan fenomena baru
Terkait dengan beberapa waktu lalu heboh hotel yang ditawarkan melalui salah satu market place secara online, Yusuf tidak begitu terkejut. Sebab hal itu sebelumnya juga sudah biasa dilakukan bahkan sebelum pandemi Covid-19.
"Sebenarnya kalau ditawarkan di market place itu sudah dari dulu. Sama seperti jual beli rumah, kost, villa, ruko gitu," tambahnya.
Tidak dipungkiri Yusuf, bahwa menjual hotel pun juga semakin susah apalagi pada saat kondisi semacam ini. Berbeda dengan menjual rumah atau kost, sebab menjual hotel nominal yang ditawarkan pun jauh lebih besar.
Khusus untuk hotel yang dijual di Jogja sendiri mulai dari hotel kelas Melati hingga bintang 4. Disampaikan Yusuf, setidaknya ada puluhan hotel dari rentan hotel kelas melati hingga 4 tadi yang dijual aset berlokasi di Jogja.
Yusuf menegaskan bahwa penjualan hotel ini tidak akan begitu berpengaruh banyak terhadap karyawan hotel itu sendiri. Pasalnya dalam penjualan ini hanya aset yang akan dijual.
"Ketika sudah terjual pun ya tetep difungsikan sebagai hotel jarang banget yang tidak. Soalnya perizinan juga dari awal sudah sebagai hotel. Tidak mungkin dialih fungsikan, tidak masuk ke budget," tegasnya.
Sementara untuk karyawan itu masuk ke dalam manajemen. Sehingga terpisah dari pemilik atau owner hotel itu sendiri.
"Pegawai masih tetap aman karena ya hanya jual beli asetnya dan penghasilannya. Rata-rata pemilik tidak mau ribet. Jadi kalau hotel ini kan namanya owner pemilik lalu ada manajemen yang mengelola, bertanggungjawab kasih profitnya ke pemilik paling bagi hasil. Nah karyawan itu tetap," tandasnya.
Pariwisata mulai menggeliat
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DPD DIY Deddy Pranawa Eryana, menerangkan bahwa kondisi perhotelan di Jogja saat ini sudah mulai membaik. Hal itu terlihat dari tingkat okupansi yang mulai mengingkat juga.
Hal tersebut tidak terlepas dari adanya bantuan dari pemerintah untuk bersinergi dengan industri perhotelan. Tak hanya pemerintah, non pemerintah pun juga mulai memberikan kontribusi tersebut.
"Kondisi sekarang tingkat okupansinya sudah membaik karena dari instansi pemerintah dan non pemerintah sudah mulai membantu. Mulai dari rapat, staycation untuk pegawai di lingkungan lokal atau pemerintahan daerah itu sudah ada. Jadi mulai peduli dengan kita," ujar Deddy.
Sebelumnya diketahui bahwa terdapat sekitar 50 hotel di Yogyakarta yang gulur tikar atau bangkrut di masa pandemi Covid-19 ini. Hal ini disebabkan oleh pihak manajemen yang sudah kewalahan menopang kebutuhan operasional sementara okupansi tidak kunjung membaik.
Terkait hal itu, Deddy menyampaikan bahwa memang sekitar 50 hotel tersebut saat ini kondisinya masih sama. Artinya ada beberapa hotel yang memang tutup secara permanen dan ada juga yang dijual.
Rata-rata tingkat okupansi yang hanya berada di bawah 10 persen diduga menjadi penyebab utama sekitar 50 hotel tersebut tutup.
"Jadi masih saat ini kondisi hotel-hotel itu masih tetep sama. Untuk yang dijual saya tidak tahu. Itu malah temen-temen wartawan yang cari OLX dan segala macem tapi laporan resmi saya belum dapat info dari mereka [pemilik hotel]. Tapi memang ada sebelumnya 50 hotel dan restoran yang tutup permanen seperti yang kita sampaikan kemarin," ungkapnya.
Namun, Deddy menyatakan bahwa beberapa dari hotel-hotel tersebut ternyata masih dimungkinkan untuk kembali aktif. Disebabkan oleh kondisi pariwisata yang saat ini mulai kembali menggeliat.
"Ternyata mereka [hotel yang sudah tutup] masih mau mencoba dengan geliat yang seperti ini untuk bangkit lagi. Saat ini mereka masih wait and see terkait perkembangan situasinya seperti apa," tuturnya.
Kendati kondisi sudah mulai kembali menggeliat, pihaknya tetap meminta sentuhan bantuan dari pemerintah. Terlebih berupa relaksasi agar pandemi Covid-19 tidak lagi memakan banyak korban lagi khususnya di industri pariwisata.
"Tapi kami dari PHRI meminta sentuhan dari pemerintah berupa relaksasi. Karena bertahan itu tidak cukup hanya bertahan saja tapi kita argo itu terus berputar, mulai dari bayar PLN, BPJS dan lain-lain," tegasnya.
Dalam kesempatan yang sama Deddy juga tidak lupa menyampaikan keoptimisannya terkait dengan vaksinasi Covid-19 yang sudah mulai menyasar para pelaku wisata di Yogyakarta. Menurutnya program vaksinasi Covid-19 ini menjadi angin segar bagi industri pariwisata khususnya bagi pelaku wisata.
"Vaksinasi ini menambah keoptimisan kita. Ditambah kita juga sudah melakukan Cleanliness, Healthy, Safety, and Environmental atau CHSE Sustainability. Didukung juga dengan pemberian harga promo yang diberikan. Pogram vaksinasi ini Covid-19 sangat membantu," cetusnya.
Diungkapkan Deddy, sebanyak 4.410 orang pelaku usaha jasa akomodasi pariwisata di Yogyakarta yang tergabung dalam PHRI DIY menjalani vaksinasi massal Covid-19 di Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta, Selasa (2/3/2021).
Walaupun jumlah tersebut belum mencakup semua anggota PHRI DIY. Namun setidaknya kata Deddy, ini menjadi sebuah langkah yang baik khususnya di industri pariwisata.
"Sekarang yang sudah terdaftar vaksinasi itu 4.410 orang. Tadi kita minta tambah kuota soalnya jumlah itu belum menyeluruh dari anggota PHRI makanya kita minta menambah. Kalau keseluruhan ada sekitar 6 ribu tenaga kerja," sebutnya.
Selain itu ada juga 50 pengurus PHRI DIY yang belum terdaftar dalam program vaksinasi Covid-19. Mereka belum masuk ke dalam daftar sebab berada di kabupaten lain.
"Itu nambah juga untuk 50 pengurus BPD PHRI soalnya mereka tidak hanya di Kota Jogja tapi ada di Kabupaten yang lain dan mereka belum ada pendaftaran," imbuhnya.
Deddy sekaligus juga mengapresiasi langkah pemerintah daerah khususnya Kota Jogja yang memberikan prioritas vaksinasi Covid-19 kepada para pelaku wisata. Dengan dukungan ini diharapkan roda perekonomian kembali bisa berputar dengan tetap menjaga keamanan dan kenyamanan semua pihak.
"Kita sangat mengapresiasi kepada pemerintah kota karena telah memberikan kita vaksin. Mengingat kami sebagai pelayan publik tentunya berhubungan erat dengan itu Covid-19. Ini menunjukkan bahwa Kota Jogja sudah siap untuk melayani wisatawan yang akan datang ke Jogja. Ini menjadi satu branding bagi Kota Jogja," pungkasnya.
Sementara itu salah seorang karyawan hotel di Yogyakarta, Irna Multahada, mengaku pekerjaannya di hotel semakin berat semenjak ada pandemi Covid-19. Pasalnya pernah saking sepinya hotel tidak ada tamu yang berkunjung sama sekali.
"Selama tahun kemarin atau mulai lebaran itu berat sih, berlangsung sekitar 3-4 bulan. Sepi bener-bener, hotel pernah tidak ada tamu sama sekali," kata Irna.
Perempuan yang bekerja sebagai waitress restoran di hotel itu juga menyebut sempat khawatir seiring dengan banyaknya kontak dengan tamu-tamu dari luar yang berkunjung. Saat sampai di rumah pun ia juga was-was jika dirinya justru membawa virus dan menularkan kepada keluarga di rumahnya.
Menurutnya pemberian vaksinasi Covid-19 ini mulai membangkitkan keyakinannya dan rekan-rekannya sesama karyawan hotel untuk lebih terlindungi. Sekaligus juga sebagai suatu harapan kebangkitan industri pariwisata.
"Iya yakin [terlindungi]. Kalau dulu khawatir sebab setiap tamu hotel itu gantian dan macem-macem. Kita tidak tahu mereka bawa virus atau tidak. Kita ya kerjanya tetap mematuhi protokol kesehatan saja, pakai masker, face shield, dan pakai hand sanitizer saja. Semoga dengan vaksin ini pariwisata Jogja bisa kembali normal lagi," tuturnya.
Percaya diri setelah divaksin Covid-19
Kepala Dinas Pariwisata DIY Singgih Raharjo mengungkapkan dalam beberapa waktu terakhir kondisi industri pariwisata khususnya hotel di Jogja sudah mengalami pergerakan. Artinya hal itu berpengaruh positif terhadap kelangsungan pariwisata yang ada di DIY.
Singgih menyebut kehadiran pemerintah memang bisa dibilang berpengaruh dalam hal keberlangsungan hotel. Mulai dari menggelar acara hingga rapat kecil di hotel itu memberi dampak yang positif.
"Saya amati sudah ada pergerakan untuk perhotelan. Jadi pemerintah sendiri sudah mulai menggunakan hotel untuk melakukan meeting kecil. Jadi Dinpar sudah mulai di bulan Februari kemarin dan temen-temen OPD yang lain juga kami minta untuk segera menggunakan fasilitas hotel untuk meeting-meeting kecil dan prokes itu dijaga betul," ujar Singgih.
Meskipun memang masih dalam skala yang kecil tapi kegiatan itu dinilai bisa menunjukkan adanya aktivitas kepariwisataan di Jogja. Selain juga membantu para pelaku wisata khususnya di perhotelan dalam melaksanakan usahanya selama masa-masa sulit ini.
"Walaupun masih kecil namun tidak apa-apa, ini menunjukkan bahwa Jogja aktivitas kepariwisataannya itu berjalan terus, tidak stagnan atau tidak berhenti begitu," ucapnya.
Singgih menyampaikan program atau kegiatan pemerintah dengan mendukung perhotelan di DIY itu baru lebih mengarah ke Meetings, Incentives, Conferencing, Exhibitions (MICE). Hal itu juga mempertimbangkan kondisi yang belum sepenuhnya pulih.
Pemerintah pun kata Singgih, juga melakukan berbagai upaya dalam melaksanakan kegiatan secara langsung agar tidak melanggaran aturan protokol kesehatan. Termasuk dengan membagi peserta acara jika memang melebihi jumlah standar yang sudah ditentukan.
"Jadi acaranya akan dilaksanakan secara hybrid kalau pesertanya banyak. Artinya nanti ada yang memang datang langsung atau on location itu paling hanya 30an orang dan yang lain mengikuti secara online," ungkapnya.
Sementara itu menanggapi permintaan PHRI DIY tentang relaksasi, Singgih menyebut bahwa pihaknya masih terus membahas hal tersebut. Menurutnya saat ini kebijakan-kebijakan pemerintah memang menjadi penting untuk terus mendorong percepatan pemulihan pariwisata.
"Itu [relaksasi] masih terus kita bahas. Kalau relaksasi dari kredit pinjaman itu kan dengan peraturan OJK itu sudah muncul ya, sudah ada aturannya. Relaksasi untuk pajak yang pajak 21, 22, 25 oleh Menteri Keuangan juga sudah dilaunching. Nah yang perlu didorong nanti pajak-pajak daerah," tuturnya.
Lebih lanjut Singgih, menuturkan Dinas Pariwisata DIY akan mendorong keterlibatan kabupaten dan kota untuk pajak-pajak daerah tersebut. Pihaknya akan mengawal terus perkembangan kebijakan yang ada dan tentunya pelaksanaan di lapangan.
Selain itu, pihaknya juga menyambut vaksinasi Covid-19 bagi pelaku wisata yang ada di Kota Jogja. Menurutnya vaksinasi menjadi sebuah harapan baru dan awal yang baik untuk perjalanan kebangkitan sektor pariwisata di DIY.
"Jadi ini harapan baru di bidang atau sektor pariwisata di Daerah Istimewa Yogyakarta. Pertama tentu, nyicil ayem sudah berhasil divaksin berarti kita sudah mulai mendapatkan imunitas itu," tuturnya.
Meski begitu setelah divaksin pun bukan berarti protokol kesehatan diabaikan begitu saja. Namun setidaknya, kata Singgih, vaksinasi dapat menumbuhkan rasa percaya diri bagi para pelaku wisata untuk kembali menerima kunjungan wisatawan.
"Intinya prokes tetap jadi panduan utama. Ini [vaksinasi Covid-19] hanya menambah percaya diri pelaku pariwisata, dan secara umum di sektor pariwisata sendiri," imbuhnya.
Berkaca dari pengalaman setahun hidup berdampingan dengan pandemi Covid-19, Singgih mengharapkan hal itu menjadi sebuah refleksi yang baik. Sehingga pengalaman yang sudah ada itu dapat dimanfaatkan sebagai sebuah pengetahuan dalam bertindak.
"Sehingga saya berharap nantinya begitu ada vaksinasi yang sudah merata dan ada pengetahuan tentang menghindari penyebaran Covid-19 alias prokes sudah menjadi bagian dari budaya. Itu nanti otomatis membuat pariwisata akan menjadi agak longgar untuk kemudian melakukan aktivitas berjalan lagi. Seban nanti dampak dari pariwisata kan pertumbuhan ekonomi ya," pungkasnya.
Liputan khas ini ditulis reporter Suarajogja.id Hiskia Andika Weadcaksana