SuaraJogja.id - Yayasan Wahana Gerakan Lestari Indonesia (Wagleri) menuntut dan menyarankan DPRD Sleman meninjau kembali upaya anggaran pembiayaan program pembasmian burung pipit. Hal tersebut bertujuan agar pengambil kebijakan tidak salah langkah dalam mengambil keputusan dalam upaya perlindungan keanekaragaman hayati dan menjaga kesehatan ekosistem alam.
Ketua Pengurus Wagleri Hanif Kurniawan mengatakan bahwa kebijakan yang saat ini ada tentang pembasmian burung pipit itu tidak didahului oleh kajian secara ilmiah. Padahal di Yogyakarta terdapat puluhan kampus serta pihak yang berkompeten untuk bisa dilibatkan dalam memberikan solusi.
"Kajian ekologisnya seperti apa kan tidak ada. Apakah kita mau mengulang kebodohan kebijakan Mao Zedong di China kan gitu. Bagaimana kemudian pembasmian burung piput itu malah menjadi malapetaka di sana. Dan ini Jogja loh dengan beberapa puluh kampusnya, kenapa tidak kemudian mereka dilibatkan untuk kemudian kita jajaki dan memberikan solusi terbaik," kata Hanif saat dihubungi awak media, Kamis (25/3/2021).
Hanif menuturkan burung pipit ini sangat penting bagi ekosistem yang ada. Pasalnya burung pipit atau yang dikenal emprit ini bisa menjadi makanan bagi predator lain.
Baca Juga:Skuat PSS Sleman Sudah Jalani Vaksinasi COVID-19
Selain itu, pembasmian burung pipit juga dinilai tidak tepat sebab diketahui bahwa burung bertubuh mungil tersebut tidak selalu memakan padi. Rumput hingga gulma yang biasanya menggangu petani pun dapat dijadikan sebagai makanan.
"Nah ini yang tidak pernah terkalkulasi dan diperhatikan. Makanya kita ketika ada kajian ilmiah tentang itu baik melalui kampus di Jogja atau melalui lembaga ilmu pengetahuan di Indonesia itu kan pasti ketemu jalannya," terangnya.
Hanif tidak ingin kondisi di Indonesia justru akan bernasib sama seperti China pasca pembasmian burung pipit. Sebab memang jika itu terjadi tidak hanya rantai makanan saja yang terganggu namun dari segi ekologinya pun ikut terganggu.
"Yang terjadi malaptaka di China itu ketika ekologinya terganggu saat pembasmian emprit kemudian hama lain dari insekta, dari gulma merebak. Artinya pertanian yang katanya mau berjalan justru terpuruk. Itu dari kajian historis," ucapnya.
Mengenai populasi burung pipit khususnya di Sleman sendiri, kata Hanif, berdasarkan pantauan di lapangan beberapa jenis emprit sudah jarang ditemukan. Walaupun untuk jenis pipit jawa masih lumayan banyak.
Baca Juga:Kuliah Tatap Muka di Sleman Diizinkan, Mahasiswa Wajib Penuhi Syarat Ini
"Ada juga emprit yang dilindungi seperti emprit gelatik itu masuk emprit yang sudah sangat jarang dan langka. Bahkan pemerintah sudah melindungi jenis itu," jelasnya.
Kajian ilmiah lebih lanjut mengenai jenis burung pipit yang dianggap sebagai hama atau pemakan padi tersebut. Menurutnya saat memakan padi pun, burung pipit belum bisa disamakan dengan kerakusan hama lain seperti tikus.
"Lha wong tikus yang rakus aja masih bisa kendalikan. Coba kita pakai rekayasa biologi dan tentu ekologinya masih bisa dimainkan. Apalahi [dampak] emprit yang belum terlalu parah," cetusnya.
Hanif terus mendorong pemerintah dan para pengambil kebijakan tidak serta-merta memutuskan aturan khususnya terkait dengan kelestarian ekosistem alam. Perlu konsultasi dengan berbagai macam pihak yang ada untuk menentukan titik terang kebijakan tersebut.
"Ya makanya kalau dananya, mereka serius untuk mengelola pertanian kita carikan solusinya secara ilmiah. Dananya silakan mau dibuat untuk riset atau apa nanti terserah itu. Tapi yang jelas target sasaran di awal kudu jelas. Landasan berpikir harus pas, tidak bisa ngawur. Kalau landasan berpikir penyerapan anggaran ya repot," tegasnya.
Saat ini pihaknya masih menunggu itikad baik dari para pengambil kebijakan terkait hal tersebut. Namun secara prinsip, ditegaskan Hanif, pihaknya siap untuk memberikan atau mencarikan solusi terbaik dengan persoalan itu.
"Prinsipnya kami hanya mencoba membuka wacana pemikiran alternatif bahwasanya ini loh ekologi masih bisa kita selamatkan. Jangan ngawur-ngawur kebijakannya," tuturnya.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua DPRD Sleman Arif Kurniawan mengaku memang sudah mendengar perihal protes dari para pegiat konservasi tersebut. Namun hingga saat ini keputusan anggaran soal pengadaan jaring burung pipit itu belum diketok.
"Kalau kemarin belum [diketok] ini masih bagian dari pengajuan dari dinas pertanian. Iya ini kan mereka mengajukan beberapa program anggaran, mata anggaran baru kaitannya untuk penanganan hama," ujar Arif.
Arif menyebut setidaknya anggaran untuk burung pipit sendiri sebelumnya memang sudah ada. Anggaran tersebut berkisar antara Rp.120-140 juta.
Disampaikan Arif, rencana pembuatan jaring untuk burung pipit itu bukan semata-mata muncul begitu saja. Rencana tersebut sudah didasari lebih dulu oleh keluhan petani terkait dengan hama purung pipit yang memakan padu.
Namun sejauh ini, pihaknya pun belum bisa memastikan apakah burung pipit masuk ke dalam kategori hama atau bukan. Masih diperlukan kajian lebih lanjut mengenai hal tersebut.
"Kita baru koordinasikan dulu. Jadi yang kategori hama itu baru kita coba untuk identifikasi. Selama ini yang kita basmi itu tikus ya. Kita belum bisa, menyampaikan apakah burung emprit itu masuk dalam kategori hama seperti tikus, wereng, dan itu dibasmi. Tapi faktanya itu [burung pipit] menggangu. Ketika sudah hampir panen pasti habis dimakan oleh burung emprit itu," terangnya.
Ditanya mengenai kesiapan untuk membuka ruang diskusi dengan pihak-pihak terkait mengenai masalah burung pipit, Arif menyatakan selalu siap. Ia juga tidak menginginkan langkah pemerintah dalam menanggulangi hama malah justru bertabrakan dengan kebijakan pelestarian lingkungan alam baik flora dan fauna.
"Iya [siap berdiskusi]. Saya kira itu bagian dari kita berupaya, salah satu bagaimana penanggulangan hama itu bisa tidak bertabrakan dengan kebijakan pelestarian lingkungan alam, flora maupun fauna yang ada," pungkasnya.