"Selama ini memang kita mengangap burung pipit telah menjadi hama padi. Namun belum ada kajian yang mendalam seberapa tingkat kerugian atau kerusakan yang ditimbulkan. Hal ini mestinya dijawab dulu, sebelum memutuskan perlu dikendalikan dengan penangkapan," jelas Yuda.
Menurut Yuda, petani sebenarnya sudah cukup pandai dalam menghadapi hama burung dengan memedi sawah dan lainnya. Hingga sekarang juga ada pemasangan jaring yang berada di atas sawah untuk meminimalisir serangan burung pipit.
Beberapa tempat di Bali, kata Yuda, dapat digunakan sebagai percontohan perihal kontrol populasi burung pipit. Di sana petani justru membuat sarang buatan untuk burung pipit, lalu setelah menetas kemudian dipanen.
Burung pipit yang dipanen itu nantinya akan dikonsumsi oleh masyarakat. Walaupun memang sekarang praktik ini juga sudah mulai jarang dilakukan.
Baca Juga:Masjid Agung Sleman Siap Jadi Lokasi Imunisasi COVID-19
"Cara terakhir ini contoh bentuk kontrol populasi. Cara-cara sejenis bisa dikembangkan bersama dengan petani, tidak perlu dibasmi," ujarnya.
Yuda mengatakan bahwa sebenarnay burung pipit adalah pemakan biji, terutama biji rumput yang berpotensi jadi gulma pertanian. Selain itu burung piput juga memakan buah berry, nektar sehingga juga berperan sebagai penyebar biji dan penyerbuk, serta kadang makan seranga juga.
"Peran ekologis ini belum banyak dikaji juga. Penangkapan burung yang marak juga mengangu keseimbangan populasi burung emprit. Burung pentet dan burung pemangsa lain sekarang sudah jarang karena diburu. Bisa jadi itu yang menyebabkan perkembangan emprit cepat dan berpotensi menjadi hama," paparnya.
Sebelumnya diberitakan bahwa Yayasan Wahana Gerakan Lestari Indonesia (Wagleri) menuntut dan menyarankan DPRD Sleman meninjau kembali upaya anggaran pembiayaan program pembasmian burung pipit. Hal tersebut bertujuan agar pengambil kebijakan tidak salah langkah dalam mengambil keputusan dalam upaya perlindungan keanekaragaman hayati dan menjaga kesehatan ekosistem alam.
Ketua Pengurus Wagleri Hanif Kurniawan mengatakan bahwa kebijakan yang saat ini ada tentang pembasmian burung pipit itu tidak didahului oleh kajian secara ilmiah. Padahal di Yogyakarta terdapat puluhan kampus serta pihak yang berkompeten untuk bisa dilibatkan dalam memberikan solusi.
Baca Juga:Gelandang Anyar Persib Farshad Noor Bertolak ke Sleman pada 26 Maret
"Kajian ekologisnya seperti apa kan tidak ada. Apakah kita mau mengulang kebodohan kebijakan Mao Zedong di China kan gitu. Bagaimana kemudian pembasmian burung piput itu malah menjadi malapetaka di sana. Dan ini Jogja loh dengan beberapa puluh kampusnya, kenapa tidak kemudian mereka dilibatkan untuk kemudian kita jajaki dan memberikan solusi terbaik," kata Hanif.
Hanif menuturkan burung pipit ini sangat penting bagi ekosistem yang ada. Pasalnya burung pipit atau yang dikenal emprit ini bisa menjadi makanan bagi predator lain.
Selain itu, pembasmian burung pipit juga dinilai tidak tepat sebab diketahui bahwa burung bertubuh mungil tersebut tidak selalu memakan padi. Rumput hingga gulma yang biasanya menggangu petani pun dapat dijadikan sebagai makanan.
"Nah ini yang tidak pernah terkalkulasi dan diperhatikan. Makanya kita ketika ada kajian ilmiah tentang itu baik melalui kampus di Jogja atau melalui lembaga ilmu pengetahuan di Indonesia itu kan pasti ketemu jalannya," terangnya.