Hal tersebut membuat masih diakuinya alat bukti berupa penguasaan tanah secara fisik terus menerus dengan iktikad baik berdasarkan hukum adat.
”Bagi jaringan kinerja mafia tanah semua celah, baik yang terdapat dalam ketentuan hukum dan administrasi pertanahan maupun sikap abai dari pemegang hak atas tanah terbuka dijadikan peluang untuk melaksanakan kinerja ilegalnya untuk memperoleh keuntungan dan merugikan pihak lain," terangnya.
Nurhasan menyatakan diperlukan perbaikan atau penutupan celah-celah itu agar tidak disusupi oleh jaringan mafia tanah. Termasuk harus memperhatikan lebih terkait sistematisnya administrasi pertanahan terhadap tanah yang haknya berakhir.
Pasalnya kondisi itu juga telah memberikan peluang bagi masuknya jaringan mafia tanah untuk dimanfaatkan. Belum lagi dengan kebijakan pemberian HAT yang liberal akan turut membuka peluang bagi mafia tanah.
Baca Juga:ART Nirina Zubir Juga Tipu Banyak Orang di Lampung
"Adanya tingkat persaingan yang tinggi antar PPAT juga dimanfaatkan oleh mafia anah untuk memperoleh dokumen peralihan hak atas tanah," tuturnya.
Menurutnya dalam memberantas mafia tanah perlu mengembangkan pedoman teknis administratif berupa pemberian peringatan. Terkhusus kepada pemegang hak atau penerima SK untuk melaksanakan kewajibannya.
Serta pernyataan secara terbuka adanya penguasaan tanah secara langsung oleh negara sekaligus rencana penggunaannya.
Mengenai upaya pencegahan konflik atas sengketa yang berasal faktor kebijakan pemberian HAT, lanjut Nurhasan dengan menata kembali kebijakan pemberian HAT. Jika karakter liberal tidak dapat diubah, maka pemberiannya dilakukan secara bertahap sesuai kemampuan modal dan potensi tanah terlantar atau tidak produktif harus dihentikan.
"Upaya mencegah juga bisa dilakukan dengan membina PPAT baik sikap profesionalismenya maupun sikap moral pelaksanaan tugasnya, serta pengawasan oleh Kantor Pertanahan," pungkasnya.
Baca Juga:Pakar UGM: Mafia Tanah Bermain dalam Ruang Ada dan Tiada