SuaraJogja.id - Polemik yang muncul karena UU KPK mendorong Dema Justicia FH UGM untuk membahasnya lebih lanjut dengan melaksanakan Kongres Hukum Aksara (KHA), yang telah dilaksanakan pada 22-31 Oktober 2021 bersama lima delegasi dari Universitas Airlangga, Universitas Diponegoro, Universitas Padjajaran, Universitas Indonesia, dan Univesitas Gadjah Mada.
Mereka menyoroti, setelah belasan tahun kiprah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pemerintah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) merevisi Undang-Undang KPK dengan menetapkan Undang-Undang No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK).
Penetapan UU KPK tesebut menuai beragam reaksi dari masyarakat umum dari berbagai kalangan. Pasalnya, revisi UU KPK tersebut memuat ketentuan-ketentuan yang berpotensi untuk melemahkan KPK dalam melaksanakan tugasnya menangani tindak pidana korupsi.
Terhitung sudah hampir dua tahun belum ada tindak lanjut dari pemerintah untuk memperbaiki UU KPK tersebut. Hal ini membuat situasi hingga kini semakin memburuk ketika beberapa waktu lalu beberapa pegawai KPK yang tidak lolos seleksi TWK dan masih banyak lagi polemik dalam KPK dibawah UU KPK yang sekarang.
Baca Juga:Pakar: Persepsi Publik atas Penanganan Korupsi di Indonesia Turun Sejak UU KPK Direvisi
Lantas, KHA digelar sebagai sebuah tempat diskusi ilmiah terbuka untuk menanggapi dan menemukan solusi dari isu dan permasalahan yang berkembang dalam masyarakat.
KHA pada tahun ini mengangkat tema “Restorasi KPK: Mengembalikan Semangat Anti-Korupsi” dengan 3 (tiga) sub bab bahasan yaitu terkait Hukum Acara KPK; Kelembagaan KPK; dan Indepedensi KPK.
Dimulai dari Hukum Acara KPK, yang telah diketahui bersama dengan UU KPK tersebut, KPK memiliki kewenangan untuk mengeluarkan SP3 dalam menangani kasus korupsi.
Tentu saja wewenang tersebut membuat kekawatiran yang muncul akan terjadinya intervensi dan pelemahan KPK itu sendiri mengingat pengusutan Tindak Pidana Korupsi yang merupakan salah satu dari tindak pidana extraordinary crime memiliki kompleksitas yang berbeda dari tindak pidana biasa dan memakan waktu yang lama.
Terkait Kelembagaan KPK yang telah masuk dalam rumpun eksekutif dengan hanya didasarkan pada KPK sebagai lembaga negara yang menjalankan fungsi penyeldiikan, penyidikan dan penututan yang notabene merupakan fungsi dari lembaga eksutif.
Baca Juga:MAKI Tarik Permohonan Gugatan UU KPK di MK, Ini Alasannya
Jika dikaji lebih jauh, masuknya KPK dalam rumpun eksekutif akan sangat mempengaruhi indepedensi KPK sebab akan muncul anggapan bahwa siapa yang menguasai eksekutif secara otomatis juga akan mengendalikan KPK.
Selain itu, kedudukan KPK, nantinya tidak berbeda dengan Lembaga Kepolisian dan Kejaksaan. Permasalahan ini semakin runyam ditambah perubahan status keanggotaan Pegawai KPK menjadi ASN. Perlu ditekankan bahwa seorang ASN akan tunduk pada UU ASN dan proses rekruitmen pegawai KPK akan mengikuti tata cara yang diatur dalam UU ASN.
Hal ini tentunya mencederai marwah KPK sebagai Lembaga Negara Mandiri, sehingga tidak memiliki wewenang untuk mengatur dirinya sendiri. Ditambah lagi dalam ASN dikenal ketentuan promosi dan mutasi yang akan sangat mengganggu kinerja pegawai KPK dalam menangani perkara korupsi.
Indepedensi KPK juga dipertanyakan ketika UU KPK mengatur terkait adanya Dewan Pengawas dalam internal KPK. Perlu diamini bahwasanya sebuah pengawasan sangat diperlukan dalam jalannya suatu lembaga negara. Akan tetapi, terdapat permasalahan dalam pemilihan dan pengangangkatan Dewan Pengawas KPK yang termuat dalam Pasal 37E UU KPK yang sangat didominasi oleh kekuasaan Eksekutif, dalam hal ini Presiden, mengingat wewenang dewan pengawas dalam UU KPK sangat besar tentunya akan muncul peluang yang sangat besar adanya intervensi dari presiden terhadap KPK.
Terkait permasalahan-permasalahan tersebut, pada sidang parpiurna KHA telah disepakati sikap dan tuntutan kepada Pemerintah. Berikut Sikap dan Tuntutan Kongres Hukum Aksara:
- Mengembalikan indepedensi KPK pasca pengesahan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 dari segi structural, fungsional, dan administratf;
- Menolak kedudukan KPK yang berada dalam rumpun kekuasaan eksekutif dan menegaskan kedudukan KPK sebagai lembaga independen;
- Menjadikan dewan pengawas sebagai lembaga pengawasan KPK yang independent dari pengaruh politik;
- Menghapuskan kewenangan SP3 yang diberikan kepada KPK;
- Menolak status kepegawaian KPK sebagai Aparatur Sipil Negara serta mendukung pengembalian status kepegawaian KPK sebagai Non-ASN seperti sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019
- Menuntut perubahan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 sesuai poin yang dibawakan oleh Kongres Hukum Aksara selambat-lambatnya akhit tahun 2022.
Kajian dan Sikap Kongres Hukum Aksara telah diserahkan ke anggota Komisi 3 DPR RI, Ahmad Dimyati, pada 3 Desember 2021.