Pakar: Persepsi Publik atas Penanganan Korupsi di Indonesia Turun Sejak UU KPK Direvisi

korupsi di Indonesia terus meroket dalam dua tahun terakhir

Galih Priatmojo | Rahmat jiwandono
Minggu, 15 Agustus 2021 | 20:33 WIB
Pakar: Persepsi Publik atas Penanganan Korupsi di Indonesia Turun Sejak UU KPK Direvisi
Ilustrasi korupsi. (Shutterstock)

SuaraJogja.id - Lembaga Survei Indonesia (LSI) belum lama merilis hasil survei nasional tentang persepsi publik terkait dengan pengelolaan dan potensi korupsi sektor sumber daya alam dengan hasil 60 persen. Sehingga publik menilai tingkat korupsi di Indonesia meningkat selama dua tahun terakhir. 

Sementara laporan Transparency International pada akhir Januari 2021 juga mencatat adanya penurunan indeks persepsi korupsi Indonesia yang anjlok ke posisi 102 dari 180 negara.

Pakar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM, Muhammad Fatahillah Akbar menuturkan, penurunan indeks persepsi korupsi terjadi dalam dua tahun terakhir sejak adanya revisi UU KPK yang menuai kontroversi. Selain itu, terlihat adanya kecenderungan penegakan korupsi yang terus menurun.

Ia mencontohkan pada kasus Jaksa Pinangki Sirna Malasari dalam perkara suap Djoko Tjandra. Dalam penegakan kasus tersebut, Jaksa Pinangki dijatuhi hukuman empat tahun penjara. 

Baca Juga:Pustral UGM Soroti Proyek Padat Karya: Rawan Praktik Korupsi

Sebelumnya, Jaksa Pinangki divonis 10 tahun penjara, namun pengadilan melakukan pemotongan masa hukuman. Hal tersebut menunjukkan putusan pengadilan belum menunjukkan rasa keadilan bagi masyarakat dengan memberikan hukuman yang lebih berat.

“Jika dibandingkan dengan kasus Gayus Tambunan dimana Jaksa Urip divonis 20 tahun penjara, tetapi pada kasus suap Djoko Tjandra justru Jaksa Pinangki hanya empat tahun saja,” papar dia, Minggu (15/8/2021). 

Di samping tren penegakan korupsi yang menurun, juga terjadi penurunan dalam hal penindakan kasus korupsi di tanah air. Misalnya, pada kasus korupsi bantuan sosial (bansos) Covid-19 yang menyeret Mantan Menteri Sosial (Mensos) Juliari Batubara.

"KPK hanya mengajukan tuntutan 11 tahun pidana penjara padahal bisa dimaksimalkan 20 tahun. Tidak seperti kasus Akil Mochtar dimana KPK mengajukan tuntutan yang dimaksimalkan yakni penjara seumur hidup. Kondisi saat ini menunjukkan adanya penurunan dalam pemberantasan korupsi,” terangnya. 

Ia menyatakan, peristiwa penonaktifan 75 pegawai KPK yang tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) turut berdampak kontraproduktif terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Menurutnya hal tersebut semestinya diselesaikan secara internal dan tidak sampai keluar ke hadapan publik. Pasalnya, bisa menyebabkan penurunan persepsi masyarakat terhadap pemberantasan korupsi.

Baca Juga:Canggih! Sambut Maba, Fakultas Filsafat UGM Pakai Gim Perkenalkan Kampus di Tengah Pandemi

Terlepas dari penurunan indeks persepsi publik terhadap penanganan korupsi, Akbar menilai bahwa penegakan hukum dan pemberantasan korupsi di Indonesia sudah berjalan dengan baik. Putusan MK mempermudah keleluasaan KPK dalam melakukan penyidikan. Kendati begitu, ia memandang ke depan perlu ada sinergi antara KPK dengan aparat penegak hukum lainnya. 

“Lalu memperbaiki integritas pemberantasan korupsi. Tidak hanya UU KPK yang diperbarui tetapi juga UU Korupsi,” ujarnya.

Menurutnya, KPK juga harus melakukan pengawasan terhadap kinerja aparat penegak hukum dalam upaya meningkatkan pemberantasan korupsi di setiap lini. 

"Masyarakat juga diharapkan dapat berpartisipasi dalam pengawasan layanan publik dan melakukan pelaporan jika melihat adanya tindak korupsi," tambahnya. 

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini