SuaraJogja.id - Pemerintah RI melalui Kementerian Keuangan barusa saja menetapkan rata-rata kenaikan cukai rokok pada 2022 di angka 12 persen. Khusus untuk produk sigaret kretek tangan atau SKT hanya naik 4,5 persen.
Kebijakan ini padahal sebelumnya ditentang banyak pihak, termasuk para buruh dan pekerja linting rokok. Bahkan kenaikan cukai ini benar-benar akan merugikan buruh rokok dan petani tembakau. Sebab banyak pabrik-pabrik rokok, termasuk di DIY akan merumahkan atau mem-PHK karyawannya, terutama sigaret kretek tangan (SKT).
"Kalau awalnya kami perkirakan kenaikan cukai 10 persen saja membuat sekitar 1000 buruh rokok di-PHK, maka bisa dibayangkan kenaikan cukai 2022 nanti naik 12 persen, maka ada sekitar 1.200 buruh rokok yang dipecat," ungkap Ketua Federasi Serikat Pekerja Rokok DIY, Waljid Budi Lestarianto di Yogyakarta, Selasa (14/12/2021).
Menurut Waljid, di DIY saat ini tercatat ada sekitar 5.000 buruh pekerja rokok yang menggantungkan nasibnya di pabrik. Kebanyakan mereka merupakan kaum perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga.
Baca Juga:Waroeng Badminton Academy Raih Juara 1 di Kejurda PBSI DIY 2021
Kenaikan cukai rokok tersebut menunjukkan pemerintah tidak mendengarkan keluh kesah petani tembakau dan buruh rokok. Mereka sudah berkali-kali meminta pemerintah untuk tak menaikkan cukai di masa pandemi COVID-19 ini karena banyaknya pembatasan produksi selama Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).
Karena itu pihaknya akan menghitung dampak kenaikan cukai rokok 12 persen. Sebab kebijakan itu hampir pasti berdampak terhadap kesejahteraan mereka.
“Yang paling pahit PHK. Kita akan berdiskusi dengan pengusaha,” ungkapnya.
Sementara Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Triyanto mengungkapkan kenaikan cukai membuat pabrik melakukan pengurangan pembelian bahan baku. Akibatnya serapan hasil panen tembakau dari petani juga berkurang kedepannya.
Banyak petani terpaksa melepas hasil panen. Sebab mereka membutuhkan modal untuk memulai menanam lagi.
Baca Juga:Binda DIY Gelar Vaksinasi Massal Lanjutan, Sasar Warga Lereng Gunung Merapi
"Pabrik-pabrik rokok juga mulai menimbun tembakau dengan membeli panenan dengan harga murah," ujarnya.
Kondisi ini, lanjut Triyanto membuat perusahaan membeli tembakau sangat murah. Dia menyebutkan, Harga Pokok Produksi (HPP) rokok maksimal Rp 50 ribu per kg. Namun petani tetap menjual dengan harga murah karena berhitung mereka merugi di masa pandemi.
"Kalau seperti ini terus petani tidak tanam, cukai diambil dari mana? Pemerintah rugi juga,” tandasnya.
Perwakilan Lembaga Konsumen Rokok Indonesia, Agus Sunandar menambahkan, alih-alih membeli rokok bercukai, dia mengajak masyarakt memboikotnya. Sebab harga rokok sejak dua bulan terakhir sudah mengalami kenaikan.
"Kami sudah meminta presiden tidak menaikkan cukai tapi tetap saja naik,, kami tidak dianggap, ya lebih baik kita beralih saja dari rokok cukai dengan beli tembakau ke petani dengan tingwe (melinting dewe-red)," paparnya.
Agus menyebutkan, dibandingkan dengan harga cukai, rokok Tingwe jauh lebih murah. Contohnya 1 kg tembakau bisa menghasilkan 1.000 batang rokok dengan berat 1gr. Bila harga tembakau Rp 70 ribu per Kg, maka satu batangnya hanya senilai Rp 70.
“Dibandingkan harga sebatang rokok bercukai yang paling murah Rp 1.500. Tingwe cocok dengan kantong kita dan UMR DIY,” imbuhnya.
Kontributor : Putu Ayu Palupi