SuaraJogja.id - Belasan ibu-ibu yang merupakan Pekerja Rumah Tangga (PRT) mengecat tembok yang berada di Jembatan Kewek, Kota Jogja, Rabu (15/12/2021) siang. Sambil mengenakan kain serbet di atas kepalanya, ibu-ibu tersebut juga menggambar mural serta menulis aspirasinya selama menjadi PRT di Kota Pelajar.
Tak hanya membuat mural, sejumlah ayakan beras dan setrika digantung sebagai simbol bahwa PRT juga perlu dilindungi oleh negara.
Wakil Ketua Serikat Tunas Mulya Yogyakarta, Yuli Maheni mengatakan bahwa aksi pembuatan mural ini dilakukan untuk mendorong pemerintah segera menindaklanjuti RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) yang sudah 17 tahun diajukan namun hanya menggantung di DPR.
"Aksi ini sebenarnya dilakukan di lima kota berbeda, ada Jakarta, Lampung, Makassar, Semarang dan Jogja pada 14 Desember kemarin. Namun kami baru melakukan di tanggal 15 Desember dengan cara yang berbeda," kata Eni sapaan akrabnya ditemui Suarajogja.id di Jembatan Kewek, Kota Jogja, Rabu.
Baca Juga:Keren Lur! Tembok Pasar Klewer Solo Penuh Mural, Jadi Spot Foto Pedagang dan Pengunjung
Ia mengatakan biasanya serikat yang menaungi lebih dari 800 anggota PRT ini menggelar aksi di Nol Kilometer. Mengingat pembatasan aktivitas, pihaknya menggelar aksi dengan membuat mural dan menggantung benda yang biasa digunakan oleh PRT.
"Kami berupaya dengan cara lain dengan bekerjasama rekan art mural. Kami nanti juga membuat tulisan dan gambar keresahan PRT selama ini," ujar dia.
Ia mengatakan bahwa pengesahan RUU Perlindungan PRT ini juga penting, mengingat kasus kekerasan PRT oleh majikan kerap terjadi.
"Hal ini juga penting karena selama ini kami tidak memiliki payung hukum. Isu sekarang memang marak terjadinya kekerasan, tapi memang lebih ke kekerasan seksual, sehingga RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang didahulukan. Mau tidak mau RUU PPRT harus mundur lagi," keluhnya.
Jangan Umbar Janji
Baca Juga:Jokowi Marahi Polisi Soal Mural, Rocky Gerung: Paling Sudah Latihan Berjam-jam
Eni mengatakan pemerintah jangan hanya menebar janji untuk segera membahas dan mengesahkan RUU PRT menjadi UU. Ia menyinggung saat mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang selalu berjanji menyelesaikan persoalan PRT.
"Kalau tidak salah 2011-2012 saat SBY menjabat akan segera ditindak lanjuti. Tapi sampai saat ini tidak ada hasilnya. Ia juga menyebut bahwa PRT sudah dilindungi, tapi kekerasan masih kerap terjadi dan tidak ada perlindungan bagi kami," kata wanita yang sudah menjadi PRT selama 30 tahun ini.
Kasus kekerasan sendiri cukup beragam dialami PRT. Eni mencontohkan kasus yang sempat terjadi di Kabupaten Pati, Jawa Tengah. PRT bekerja dengan cara disekap dan tidak boleh keluar rumah.
"Ada juga PRT yang keluar dari rumah majikannya itu sudah mengalami luka bakar karena setrika, lalu rambutnya ditarik paksa oleh majikannya. Itu terjadi sekitar 2017," ujar dia.
Eni juga menyebut kasus kekerasan di lingkup PRT juga terjadi di Jogja. Sekitar 2018 lalu anak dari PRT berusia 2 tahun digiling di mesin cuci.
"Kasusnya baru, jadi karena majikannya kesal dengan PRT, dilimpahkan ke anak PRT ini dan digiling di mesin cuci. Kasus itu sudah kami advokasi dan ditangani Polda DIY," kata dia.
Tuntut Upah PRT yang layak
Selain keselamatan kerja PRT, upah bagi PRT juga menjadi salah satu yang didorong agar pekerja mendapat upah yang layak. Sejauh ini di wilayah DIY sendiri pembayaran upah dilihat dari durasi kerja. Menurut Eni PRT yang fulltime bisa mendapat Rp900 ribu hingga Rp1,5 juta per bulan. Namun upah itu menyesuaikan dengan pemberian majikannya
"Kita pernah audiensi soal upah, tapi upah itu tidak disetujui jika menyamai UMR daerah-daerah. Jadinya upah itu standar yang diberikan majikan yang penting tidak ada kekerasan," ungkap dia.
Eni berharap dengan aspirasi dari PRT ini mampu mengetuk pemerintah termasuk DPR untuk lebih memperhatikan kondisi dan masa depan PRT. Ia berharap PRT tetap mendapat hak perlindungan dan keselamatan saat bekerja.