Perempuan Berkebaya Indonesia Yogyakarta, Lestarikan Budaya Melalui Tradisi Tetesan

Sudah jarang terdengar, Perempuan Berkebaya Indonesia Yogyakarta, ajak masyarakat untuk kembali mengingat adanya tradisi tetesan.

Arendya Nariswari
Sabtu, 18 Desember 2021 | 19:30 WIB
Perempuan Berkebaya Indonesia Yogyakarta, Lestarikan Budaya Melalui Tradisi Tetesan
Simulasi upacara tetesan yang diselenggarakan oleh komunitas Perempuan Berkebaya Indonesia Yogyakarta di Pendopo Ndalem Pakuningratan Sabtu (18/12/21) (Suara/Arendya).

SuaraJogja.id - Bukan hanya laki-laki saja yang menjalankan khitanan atau sunat ketika akan memasuki usia dewasa. Di Pulau Jawa, khususnya Yogyakarta sebenarnya tradisi sunat bagi perempuan masih dilakukan oleh sebagian kalangan. Inilah tradisi yang dikenal dengan nama tetesan.

Bertempat di Pendopo Ndalem Pakuningratan, hari ini, Sabtu (18/12/2021) komunitas Perempuan Berkebaya Indonesia Yogyakarta melestarikan budaya masyarakat Jawa tetesan tersebut. Margaretha Tinuk Suhartini selaku Pendiri sekaligus Ketua Perempuan Berkebaya Indonesia Yogyakarta mengatakan, bahwa upacara tetesan ini sudah jarang didengar atau dilakukan.

Oleh karenanya, untuk mengedukasi masyarakat sekaligus melestarikan budaya lokal, Perempuan Berkebaya Indonesia melaksanakan simulasi pelaksanaan tetesan. Tujuan dari pelaksanaan tetesan ini bukan lain yakni untuk mengajak masyarakat mengingat kembali warisan budaya yang sudah lama terlupakan.

"Komunitas Perempuan Berkebaya Indonesia ini kan, misinya melestarikan budaya, jadi ini adalah salah satu bukti, salah satu upaya kami untuk nguri-uri kabudayan. Tradisi tetesan ini adalah salah satu fase dari upacara daur hidup manusia yang sudah banyak dilupakan oleh orang-orang. Banyak yang tidak tahu, kecuali keluarga Keraton memang mereka menjaga budaya ini, tapi kalau masyarakat umum kan banyak yang tidak tahu," ungkap Margaretha Tinuk Suhartini. 

Baca Juga:Pengusaha Anyer Minta Industri di Ciwandan Rawat Kerjasama

Anak perempuan yang menjalani tetesan tengah melakukan prosesi siraman oleh anggota keluarga. (Suarajogja/Arendya)
Anak perempuan yang menjalani tetesan tengah melakukan prosesi siraman oleh anggota keluarga. (Suarajogja/Arendya)

"Jadi kami mengingatkan kembali, memperkenalkan kembali, ini lho ada tradisi bagus, walaupun mungkin sudah tidak banyak dilakukan ya, tradisi tetesan ini karena perkembangan zaman. Tapi bukan berarti harus dilupakan," imbuhnya ketika diwawancarai tim Suarajogja.id. 

Berasal dari Bahasa Jawa, jika diartikan 'tetes'ini memiliki makna 'jadi' atau secara harfiah hal ini berarti sebuah tahap pertumbuhan menjelang dewasa.

Margaretha Tinuk Suhartini, Pendiri dan Ketua Perempuan Berkebaya Indonesia, Yogyakarta. (Suarajogja.id/Arendya)
Margaretha Tinuk Suhartini, Pendiri dan Ketua Perempuan Berkebaya Indonesia, Yogyakarta. (Suarajogja.id/Arendya)

Upacara tetesan, di lingkungan Keraton Yogyakarta sendiri biasanya dilaksanakan dengan dihadiri keluarga atau kerabat terdekat saja sebagai ungkapan atau simbol rasa syukur.

Simulasi tradisi tetesan ini dilakukan secara bertahap, mulai dari sungkeman, tetesan itu sendiri yang dilakukan di ruang tertutup oleh bidan, siraman, hingga mendandani anak perempuan tadi dengan sanggul dan atribut serta busana tradisional Jawa.

Setelah sungkeman, siraman dan menyelesaikan rangkaian upacara, anak perempuan yang menjalani tetesan berganti busana tradisional cinde. (Suarajogja/Arendya)
Setelah sungkeman, siraman dan menyelesaikan rangkaian upacara, anak perempuan yang menjalani tetesan berganti busana tradisional cinde. (Suarajogja/Arendya)

Seluruh anggota Perempuan Berkebaya Indonesia Yogyakarta, pada pelaksanaan simulasi tradisi upacara tetesan pada siang hari itu juga terlihat anggun dalam balutan busana kebaya, bawahan jarik dan sanggul.  Ada yang berperan sebagai anggota keluarga dari anak perempuan yang menjalani upacara tetesan dan juga bidan. 

Baca Juga:Eks Persis Solo Menggila, Dewa United vs PSIM Yogyakarta Berakhir Imbang

Ketika pelaksanaan upacara, anak perempuan yang menjalani tetesan juga terlihat mengenakan busana tradisional seperti cindhe. Pada cindhe sabukwa, terdapat atribut seperti cathok kupu berwarna emas, cincin tumenggul, gelang tretes, slepe, kalung ular, hingga lonthong kamus bludiran.

Komunitas Perempuan Berkebaya Indonesia, Yogyakarta usai melakukan upacara tetesan di ASDRAFI, Sabtu (18/21/2021)
Komunitas Perempuan Berkebaya Indonesia, Yogyakarta usai melakukan upacara tetesan di Pendopo Ndalem Pakuningratan, Sabtu (18/21/2021)

Mendatang, komunitas Perempuan Berkebaya Indonesia Yogyakarta secara bertahap akan kembali melaksanakan simulasi tradisi upacara daur hidup lainnya setelah tetesan. 

"Upacara daur hidup manusia itu kan ada tiga fase, fase kehamilan sampai lahiran, fase perkawinan dan fase kematian. Nah ada banyak sekali, jadi kami mulai memilih, mana yang sudah dilupakan orang. Setelah tetesan ini kan langkahnya taraban, untuk anak 8 tahun, dan itu untuk perempuan yang menstruasi pertama. Mungkin selanjutnya kami akan mengadakan itu (simulasi tradisi taraban),"pungkas Margaretha Tinuk Suhartini.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Lifestyle

Terkini

Tampilkan lebih banyak