Meski mengetahui bahwa di luar Jogja masih ditemukan adanya perbedaan keyakinan hingga terjadi pembakaran rumah ibadah, bagi Heri, hal itu tak lepas dari kepentingan yang bisa jadi dimiliki suatu kelompok.
"Namun saya pastikan, di Ngloro ini saling mengerti satu sama lain. Maka komunikasi ini yang terus kami jaga. Selama semua berjalan sesuai koridor, kami pastikan kenyamanan seluruh warga di Ngloro tetap terjaga meski dengan perbedaan keyakinan," kata dia.
Ia kembali menegaskan, "Di wilayah kami, kami sangat menjaga toleransi. Artinya, kami menjaga mereka, dan mereka kami minta untuk menjaga kami. Saling menjaga, saling komunikasi. Perbedaan tidak harus berujung perpecahan. Perbedaan itu penting. Perbedaan itu baik. Perbedaan itu bagian dari NKRI, yang memang dasarnya sudah bineka tunggal ika. Berbeda itu boleh."
Sultan Pastikan Ahmadiyah di Jogja Aman
Baca Juga:Masjid Jemaah Ahmadiyah Dibongkar dan Kalimat Syahadatnya Dicopot, Guntur Romli Murka
Konflik dengan melibatkan kekerasan yang berdampak pada Jemaat Ahmadiyah sudah lama dan tak hanya satu kali terjadi di Indonesia. Namun di DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X sang Gubernur telah menjamin bahwa penduduknya yang menjadi bagian dari Ahmadiyah tetap aman di wilayah pimpinannya.
Pada awal-awal 2011 silam, ketika terjadi bentrok yang menewaskan tiga warga Ahamadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten, Sultan menekankan, tidak boleh ada yang memaksakan kehendak pada orang lain. Itu pun ia sampaikan pada warga DIY supaya toleransi tetap terjaga.
Bahkan ketika heboh kabar bahwa provinsi lain mengeluarkan peraturan untuk melarang aktivitas Ahmadiyah, Sultan menegaskan tak akan mengeluarkan Surat Keputusan (SK) terkait larangan jemaah Ahmadiyah di Yogyakarta.
"Sudahlah, Yogyakarta jangan diprovokasi. Tidak ada SK larangan jemaah Ahmadiyah di sini. Selama ini kita hidup berdampingan, tak ada gejolak," tegasnya.
Begitu pula Raja Keraton Yogyakarta ini meyakinkan, sebagai pemimpin, jika ada desakan dari sejumlah pihak untuk membubarkan Ahmadiyah, dia tak akan menanggapi.
Baca Juga:Kemenag Minta Masjid Ahmadiyah Difungsikan sebagai Tempat Ibadah Seluruh Umat Islam
"Saya tegaskan, yang punya wewenang membubarkan Ahmadiyah adalah pemerintah pusat. Pemerintah daerah hanya melaksanakan surat keputusan bersama tiga menteri dengan melakukan pengawasan dan pengendalian," tutur Sultan.
SKB 3 Menteri Biang Kerok Kerusuhan
Menanggapi penyerangan Masjid Ahmadiyah di Sintang, Kalimantan Barat pada 2021, Menkopolhukam Mahfud MD menyatakan bahwa pihaknya sudah berkoordinasi dengan gubernur dan kapolda setempat untuk memberi penanganan dengan memperhatikan hukum dan HAM.
"Semua harus menahan diri. Kita hidup di NKRI, di mana hak-hak asasi manusia itu harus dilindungi oleh negara," kata Mahfud MD.
![Serangan masjid Ahmadiyah [ist]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2021/09/03/64056-serangan-masjid-ahmadiyah-ist.jpg)
Di sisi lain, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mendorong agar Surat Keputusan Bersama 3 Menteri Nomor 3 tahun 2008 dievaluasi untuk dibatalkan. Komnas menilai, adanya SKB tersebut menjadi salah satu akar terjadinya perusakan tempat ibadah jemaah Ahmadiyah di Sintang, Kalimantan Barat.
Komisioner Komnas HAM Choirul Anam mengatakan, pihaknya mempunyai banyak catatan mengenai kasus konflik terhadap jemaah Ahmadiyah. Menurutnya, yang menjadi akar masalah memang adanya SKB Menteri Agama, jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat tersebut.