SuaraJogja.id - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyimpulkan hasil pemantauan dan penyelidikan atas kasus dugaan penyiksaan kepada warga binaan permasyarakatan (WBP) di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Narkotika Kelas IIA Yogyakarta atau kerap disebut juga Lapas Pakem. Kesimpulannya dalam peristiwa ini memang terindikasi kuat telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia.
Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM M Choirul Anam menerangkan, setidaknya ada lima pelanggaran hak asasi manusia yang dapat disimpulkan dalam peristiwa penyiksaan di Lapas Narkotika Kelas IIA Yogyakarta. Pertama adalah HAM untuk tidak disiksa, tidak mendapatkan perlakuan kekerasan yang lain atau merendahkan martabat.
Sesuai dengan konvensi antipenyiksaan yang sudah diratifikasi sejak 1998 lalu, Komnas HAM berkomitmen untuk melaksanakan itu. Disebutkan Anam, beberapa institusi bahkan juga telah mencanangkan zero penyiksaan, tetapi tampaknya itu yang dilanggar oleh Lapas Pakem.
"Jadi memang ada pelanggaran di sini. Konteks ini menjadi sangat penting karena memang spirit dari anti penyiksaan ini adalah meletakkan manusia itu sebagai manusia. Jadi tidak meletakkan manusia itu sebagai barang," kata Anam dalam jumpa pers via daring, Senin (7/3/2022).
Baca Juga:Selidiki Dugaan Penyiksaan di Lapas Pakem, Komnas HAM Temukan Berbagai Pelanggaran
"Termasuk manusia yang ketika ia menghadapi masalah hukum, termasuk yang statusnya narapidana. Hal itu sangat penting untuk kita ingatkan, dan dalam konteks ini ada pelanggaran di situ," sambungnya.
Kemudian pelanggaran HAM kedua adalah tentang hak memperoleh keadilan. Anam menilai akibat penyiksaan itu semua penghuni dalam hal ini WBP kesulitan untuk mendapatkan keadilan tersebut.
"Jadi memang dalam proses itu semua penghuni ini memang mengalamai hambatan bagaimana dia memperjuangkan hak-haknya atas perlakuan yang begitu, kalau dalam konteks anti penyiksaan itu begitu kejam dan tidak manusiawi," ucapnya.
Selain itu pelanggaran ketiga, disampaikan Anam para WBP juga kehilangan hak atas rasa aman. Terlebih saat situasi dan kondisi tengah dilakukan pembersihan atau pendisiplinan di dalam lapas.
"Dalam situasi pemberantasan, pembersihan dan sebagainya itu ya tidur nggak aman, macam-macam tidak aman walaupun spesifik dalam konteks hunian penghuni lapas memang tidak bisa disamakan dengan orang bebas. Tetapi hak atas rasa aman ini masih tetap harus dilindungi," tuturnya.
Baca Juga:Kasus Suap Bupati Terbit Rencana, KPK Panggil Pejabat Langkat Salah Satunya Plt Sekda PUPR Langkat
Lalu keempat ada pelanggaran HAM mengenai hilangnya kehidupan yang layak. Dalam hal ini salah satunya terkait dengan makanan bagi para WBP serta kondisi ruang tahanan.
Berdasarkan keterangan yang diterima Komnas HAM terungkap bahwa ada perubahan-perubahan khususnya di kondisi ruang tahanan. Termasuk salah satu blok atau ruang tahan Edelweis yang masuk dalam intensitas tinggi terjadi kekerasan.
"Itu termasuk hak atas kesejahteraan, instrumen makanan menjadi instrumen perlakuan yang kejam di situ, perlakuan yang lain yang merendahkan martabat," terangnya.
Terakhir adalah pelanggaran HAM terkait hak atas kesehatan. Mengingat sejumlah WBP yang masih ditemukan memiliki bekas luka akibat perlakuan penyiksaan itu tidak dirawat dengan baik.
"Jadi ketika mendapatkan kekerasan dan sebagainya untuk memastikan luka dan sebagainya yang dialami oleh para WBP itu tidak mendapat perlakuan yang baik. Sampai terakhir memang ada sampai sekarang luka yang masih membekas. Nah itu ada lima poin pelanggaran hak asasi manusia," urainya.
Ditambahkan Anam, terkait intensitas penyiksaan terhadap WBP yang tinggi tadi dilakukan oleh tiga oknum atau tategori. Dalam artian ada tiga pihak memiliki perannya masing-masing.
Pertama adalah petugas yang memang mengakui bahwa telah melakukan tindakan penyiksaan. Dalam hal ini pemukulan, menendang hingga mencambuk menggunakan selang.
Lalu kedua kategori petugas yang melihat langsung berbagai tindakan kekerasan kepada para WBP itu. Mulai dari pemukulan hingga penelanjangan sebelum masuk ke blok masing-masing.
Kemudian ketiga, petugas yang mengetahui dan mendengar dari rekan regu pengaman. Khususnya rekan yang tengah bertugas pada saat itu.
"Jadi ada tiga layer, yang melakukan, mengetahui, ada layer yang mengetahui tapi basisnya mendengar," tandasnya.
Sebelumnya ORI DIY menerima laporan dari sejumlah eks Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) Lapas Narkotika Kelas IIA Yogyakarta pada Senin (1/11/2021) lalu. Laporan itu terkait dengan dugaan tindakan penyiksaan oleh beberapa di Lapas Pakem tersebut.
Sebagai tindaklanjut atas kejadian ini ada sebanyak lima petugas Lapas Narkotika Pakem juga telah dicopot sementara pada Kamis (4/11/2021). Menyusul hasil investigasi sementara yang menyatakan kelima petugas itu terindikasi telah melakukan tindakan berlebihan terhadap para WBP.