UU TPKS Sah, Pakar: Kita Hidup dalam Belenggu Budaya Patriarki

Menurut dosen HI UMY itu, walau telah disahkan dan jadi payung hukum, tetapi itu belum cukup untuk menyelesaikan persoalan terkait kekerasan seksual.

Eleonora PEW | Rahmat jiwandono
Sabtu, 23 April 2022 | 18:46 WIB
UU TPKS Sah, Pakar: Kita Hidup dalam Belenggu Budaya Patriarki
Puluhan wanita berdemo sahkan RUU TPKS di gedung DPR RI. (Suara.com/Ria Rizki)

SuaraJogja.id - DPR RI telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) pada12 April 2022 lalu. Ini menjadi angin segar di tengah maraknya kasus kekerasan dan pelecehan seksual.

Pakar bidang gender dan politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Nur Azizah menyatakan bahwa pengesahan UU tersebut merupakan salah satu bentuk upaya konkret dalam implementasi UU TPKS perlu adanya perubahan budaya menuju kesetaraan gender.

"Saya apresiasi yang luar biasa, karena pengesahan UU TPKS merupakan suatu progres hukum yang bagus. Hal tersebut menunjukkan komitmen yang lebih baik dalam menangani kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia," katanya pada Jumat (22/4/2022).

Menurut dosen Hubungan Internasional (HI) UMY itu, walau telah disahkan dan jadi payung hukum, tetapi itu belum cukup untuk menyelesaikan persoalan terkait kekerasan dan pelecehan seksual. Dalam Impelementasinya, UU masih membutuhkan banyak tahap yang perlu dilakukan dengan turunan menjadi berbagai peraturan dengan konteks tindak pidana kekerasan seksual.

Baca Juga:UU TPKS Tonjolkan Aspek Keadilan Restoratif

"Walaupun sudah disahkan (UU TPKS), namun masih banyak yang perlu dilakukan dan harus diperjuangkan agar korban kekerasan seksual memperoleh keadilan," ujarnya.

Perihal kekerasan seksual, kata Azizah, memiliki sisi dilematis untuk mengusut tuntas menuju ranah hukum. Yaitu adanya beberapa faktor dilematis yang dialami korban diantaranya adalah rasa trauma bagi korban, membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengusut ke ranah hukum, korban memiliki keinginan untuk melupakan kejadian yang dialami.

"Serta adanya rasa takut jika mengalami sanksi sosial dan berimbas pada keluarga korban," paparnya.

Oleh karena itu, hadirnya UU TPKS ini diharapkan punya titik terang, yaitu disahkannya UU TPKS juga bagian dari mengubah peradaban yang lebih baik, yaitu dengan tidak memberikan toleransi kepada pelaku kekerasan seksual. Sehingga dengan hal tersebut bisa tercipta peradaban yang menghargai keadilan bagi semua pihak termasuk bagi korban kekerasan seksual.

Kata dia, kekerasan seksual merupakan kasus yang sangat sering terjadi di Indonesia, bahkan kekerasan seksual sudah terjadi saat sebelum Indonesia merdeka. Namun, selama ini kerap kali dianggap sebagai suatu hal yang tidak terlalu penting sehingga pada saat itu merasa tidak perlu untuk diatur dalam UU.

Baca Juga:Wamenkumham: Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan dan Anak Termasuk Kejahatan Paling Serius

“Problematika seperti ini terjadi karena kita hidup dalam belenggu budaya patriarki, yaitu sering memberikan sikap permisif terhadap hal-hal yang berkaitan kekerasan seksual. Terlebih bentuk kekerasan seksual memiliki jenis yang beragam," ungkapnya.

Ia mencontohkan yang menjadi hal problematika dalam kasus kekerasan seksual, diantaranya pada kasus pemerkosaan sering kali pelaku diberi hukuman sangat ringan. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebelum disahkannya UU TPKS ini menganggap regulasi tersebut tidak terlalu penting.

"Sebab, adanya belenggu budaya patriarki tersebut maka tindak kekerasan seksual selalu terjadi. Oleh karena itulah persoalan tersebut tidak mampu mengubah budaya untuk meminimalisir tindakan kekerasan seksual di Indonesia,” tambahnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak