Pahitnya Nasib Kopi Merapi: Dihantui Wedhus Gembel, Dirusak Pemanasan Global

Produksi kopi merapi saat ini sedang tak baik-baik saja. Salah satunya dipengaruhi adanya perubahan iklim ekstrem yang sedang menggejala di seluruh dunia

Galih Priatmojo
Kamis, 08 September 2022 | 16:18 WIB
Pahitnya Nasib Kopi Merapi: Dihantui Wedhus Gembel, Dirusak Pemanasan Global
ilustrasi produksi kopi merapi yang turun drastis. [Iqbal Asaputra / SuaraJogja.id]

Erupsi, menurut DP3, tak hanya meluluhlantakkan perkebunan tetapi dampaknya juga turut memengaruhi kualitas kopi karena biji kopi terkena debu dan uap panas. Penampakan kopi banyak yang hitam dan tanaman banyak yang rusak.

Sumarno: Lereng Merapi Kini Terasa Lebih Panas

Sementara itu, kala dikonfirmasi secara terpisah terkait kondisi pertanian kopi yang digeluti masyarakat lereng Merapi, salah satu petani kopi setempat, Sumarno memaparkan sejumlah fakta.

Sumarno merupakan petani kopi lereng Merapi yang berada di Padukuhan Gading, Kalurahan Glagaharjo, Kapanewon Cangkringan. Bagi beberapa orang, Gading yang berada di kisaran 700-800 mdpl merupakan kawasan yang sejuk.

Baca Juga:Gawat! BI Prediksi Perubahan Iklim akan Berdampak Kerugian pada Produk Domestik Bruto Sebesar 40 Persen

Data produksi dan penyebab turunnya kopi merapi. [Iqbal Asaputra / SuaraJogja.id]
Data produksi dan penyebab turunnya kopi merapi. [Iqbal Asaputra / SuaraJogja.id]

Pemilik rambut ikal pendek ini mengungkap, Gading merupakan salah satu area yang terdampak erupsi Gunung Merapi pada 2010. Sejumlah lahan kopi di tempat tersebut habis diterjang awan panas atau wedhus gembel. Ia mengingat, sebelum ada erupsi, panen kopi dapat dikatakan optimal. Namun semua berubah pascabencana, suhu udara setempat naik drastis sekitar 25%, Gading yang awalnya sejuk menjadi terasa lebih panas.

"Selang waktu kemudian, Dinas Pertanian, pemerintah dan instansi menggerakkan penegakan kopi kembali, tapi pada kenyataannya tanaman kopi yang ditanam setelah erupsi itu sangat sulit dalam perkembangan," tutur pemilik Ndelik Kopi ini, kala ditemui Suara.com, pekan lalu.

Hal itu dikarenakan humus dalam tanah yang belum berproduksi kembali, usai terpapar material vulkanik. Ia menduga kondisi tanah pascaerupsi masih belum sepenuhnya netral untuk tanaman kopi, luar dan dalam. Tanah sulit menyerap air. Kalaupun ada air yang disiramkan ke atas tanah, entah itu disiram sengaja maupun hujan, maka air sukar meresap ke dalam tanah.

"Hanya mengalir atau hanya tergenang. Kalau ada musim kemarau panjang atau agak lama, tidak ada hujan, butuh waktu lama untuk air meresap dan menembus ke dalam tanah. Terkadang, sudah berbulan-bulan kemudian tanah itu kita gali, di dalamnya masih kering," sebutnya.

Tanah di Gading yang berpasir dan berhumus sebetulnya baik untuk menjadi media tanam kopi. Apalagi petani kopi di daerah itu kerap memberi pupuk organik, --dalam hal ini pupuk kandang-- ke lahan mereka. Namun pascaerupsi, walau sudah ada upaya pembenahan namun kualitas belum sebaik dahulu, sebelum erupsi melanda kediamannya.

Baca Juga:Terus Turun Drastis, Produksi Garam Rakyat Terganggu Perubahan Iklim

"Belum tentu bila saat ini ditanam dia akan hidup, kalau dulu mudah sekali, ditanam langsung tumbuh," terangnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak