SuaraJogja.id - Catatan: Artikel ini mengandung cuplikan cerita film Women From Rote Island memuat kekerasan seksual dan pembunuhan yang dapat menggangu kenyamanan Anda. Jika membutuhkan bantuan psikologis terkait kekerasan seksual, silahkan menghubungi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) di call center 148 atau Call Center Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) di call center 129.
Yogyakarta - Film Women From Rote Island berhasil membius penonton di gelaran Jogja-NETPAC Asia Film Festival pada Kamis, (30/11/2023) siang. Sebelumnya film karya sutradara Indonesia, Jeremias Nyangoen sudah ditayangkan di Busan International Film Festival (BIFF) 2023 pada Oktober lalu.
Ratusan penikmat film berbaris rapi pada pukul 13.30 WIB untuk menyerbu masuk ke Studio 1 Bioskop Empire XXI Cinemas Yogyakarta, Jalan Urip Sumoharjo, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan menyaksikan film tersebut.
Pemutaran film Women From Rote Island berlangsung pada pukul 14.30 dan diakhiri dengan sesi tanya jawab di akhir pemutaran.
Usai film diputar, deru tepuk tangan meriah dari penonton menyambut. Salah satunya sosok Mira Lesmana, produser film Petualangan Sherina yang juga turut menyaksikan film Women From Rote Island di JAFF 2023. Mira Lesmana dengan semangat memberikan standing ovation untuk film yang mengangkat isu kekerasan seksual dan pembunuhan ini.
Banyak fakta-fakta menarik selama proses pembuatan film ini yang dibongkar saat sesi tanya jawab.
1. Relitas Sosial Yang Terjadi Di Rote
Jereminas sebagai sutradara mengakui bahwa realitas kehidupan sehari-hari yang sering terjadi di Rote adalah pelecehan serta kekerasan seksual yang dialami perempuan.
Merekontruksi Women From Rote Island ini bukan hanya sebatas kepentingan cerita dan drama, namun kejadian tersebut betul adanya terjadi di kepulauan yang ada di Nusa Tenggara Timur tersebut.
Baca Juga:Menguak Kepedihan di Balik Eksotisme Pulau Rote Lewat Film Women from Rote Island
“Rote itu indah, tapi tidak seindah yang kita lihat. Banyak permasalahan sosial yang ada di dalamnya. Tingkat pelecehan seksual di Rote dan pembunuhan, tinggi sekali,” kata Jeremias usai pemutaran film Women From Rote Island di JAFF 2023.
2. Cerita Diadopsi Dari Kejadian Nyata
Banyak peristiwa dalam scene film Women From Rote Island diambil dari kejadian nyata. Meskipun sang sutradara, Jeremias enggan menyebut film ini seluruhnya dibuat berdasarkan kisah nyata.
"Ada dua cerita yang saya jadikan satu dalam film ini. Kalau ditanya pernah terjadi gak ini? Pernah. Pasti 100 persen terjadi. Tetapi saya takut mengatakan, sebagai pertanggung jawaban, bahwa ini true story. Ada satu adegan yang tidak pernah terjadi di sana, jadi saya tidak berani mengatakan itu true story," ungkap sang sutradara.
3. Adegan Kekerasan Seksual Banyak Di-cut
Dalam film Women From Rote Island adegan kekerasan seksual di film ini digambarkan secara eksplisit. Lagi-lagi, Jeremias membongkar fakta lain yakni versi film yang telah diputar di JAFF ini masih belum ada apa-apanya, ia menyebut bahwa masih banyak adegan-adegan yang dipotong karena kompromi dari sutradara.
"Sebenarnya ini gak seberapa. Maaf ya, saya masih kompromi," tegasnya.
4. Director’s Cut Akan Dirilis
Jeremias tak secara gamblang menguak alasan-alasan untuk komprominya tersebut, namun bisa dimengerti jika ia tetap memikirkan kenyamanan penonton saat menonton filmnya. Meski begitu, sang sutradara ini menyinggung soal director’s cut yang akan menayangkan peristiwa-peristiwa yang lebih kejam lagi.
"Sesungguhnya peristiwa-peristiwa yang akan disajikan sangat mengerikan lagi. Nanti tunggu director's cut, ya," ujarnya.
5. Treatment Untuk Membangun Chemistry
Pada sesi tanya jawab setelah penayangan film Women From Rote Island di JAFF 2023 juga dihadiri oleh beberapa cast seperti Linda Adoe yang berperan sebagai Orpa, dan Van Jhoov dan yang lainnya.
Mereka menceritakan soal bagaimana para pemeran bisa menjalin chemistry dengan sangat baik. Salah satunya adalah mereka sempat tinggal bersama dalam satu lingkungan, untuk beberapa waktu selama syuting.
"Selain memang kita ada waktu untuk workshop, kebetulan kita juga ditempatkan dalam satu tempat di rusun di Rote. Kita makan di satu ruangan untuk bisa membangun chemistry. Di luar itu, saat kita sedang tidak syuting kita sering sharing," ujar Van Jhoov.
Tak berhenti sampai disitu, penayangan film selesai, Tim Suarajogja.id berkesempatan untuk berbincang dengan Jeremias Nyangoen, sutradara sekaligus penulis naskah dan sosok produser, Rizka Shakira film Women From Rote Island, dan perwakilan PH Langit Terang Sinema dan Merlinda Dessy Adoe aktris pemeran tokoh Oropha.
Inilah cerita lika-liku di balik layar dan kisah unik produksi film Women From Rote Island versti sutradara, produser, perwakilan PH dan aktris Women from Rote Island.
Proses Syuting Yang Singkat Hanya 29 Hari Di Pulau Rote
Rizka Shakira, sosok produser bercerita tentang proses syuting di Pulau Rote, NTT yang hanya berlangsung 29 hari.
“Syuting-nya kita 29 hari sudah termasuk break (libur/istirahat). Total 170 (orang) kru, 80 kru dari Jakarta, sisanya (dari warga) lokal),” ujar Rizka.
“Jadi mungkin bahasanya lebih mudah karena kita ada kru dari lokal juga. Untuk masalah itu memang sangat terkondisi dengan baik dan mereka antusias,” ucap Rizka.
Fakta Menarik Tentang Para Cast
Menggaet berbagai cast peran yang 95% baru pertama kali berakting. Rupanya tak menjadikan hal tersebut menjadi masalah yang krusial.
Diungkap oleh Rizka, sebelum syuting terjadi sekitar 3 bulan lamanya para aktor dan aktris sudah melalu proses latihan. Mereka tinggal bersama di sebuah camp untuk membangun chemistry dan berlatih akting.
Sosok Irma Novita Rihi, aktris pemeran Martha adalah mahasiswa yang kini sudah lulus kuliah.
Sementara itu, Merlinda Dessy Adoe (Linda Adoe) aktris pemeran Orpha adalah seorang pegawai negeri sipil (PNS) yang bekerja sebagai Kepala Sub Bagian (Kasubag) Umum dan Kepegawaian, Kecamatan Rote Barat.
“Fun fact (fakta lucu) yang lebih menarik lagi, sosok Orpha (aktris pemeran Orpha), hari pertama syuting, nangis minta pulang. (Dia) nangis minta pulang, semua orang panik dengan... ya, semua kru pernah disuruh keluar karena (dia) kan kaget gitu,” beber Rizka.
Selain itu, proses casting untuk menemukan tokoh Martha tidaklah mudah. Banyak kadidat yang ‘nyaris’ cocok namun akhirnya tidak jadi memerankan tokoh penting dalam film ini. Setelah satu minggu sebelum latihan akting, kru menemukan sosok yang cocok untuk memerankan Martha.
Jeremias Nyangoen sang sutradara ingin semua aktor dan aktrris yang berperan dalam film Women From Rote Island adalah warga lokal Pulau Rote.
“Kenapa pilih pemain lokal? Saya tidak ingin kehilangan soul-nya plus dialeknya,” kata Jeremias.
“Sangat banyak sekali film-film Indonesia Timur yang dialeknya hampir sama, bikinnya di Kupang. Padahal, dialek Indonesia Timur itu bisa dialek Bima, bisa dialek Rote, bisa dialek Maluku, bisa juga dialek Papua,” tuturnya.
“Saya tidak ingin kehilangan soul dan dialek-dialek itu. Menurut saya, kalau saya pakai aktris (nasional) pasti lama (latihan dialek Rote),” ungkap Jeremias.
Ia menilai, lebih baik melatih warga Rote akting daripada melatih aktris berbicara Bahasa Rote dengan dialek Rote.
“(Para aktris) ada yang PNS, ada yang mantan mahasiswa, ada yang guru, macam-macam, ada yang ibu rumah tangga biasa, macam-macam,” ujar Jeremias.
Besar Harapan Untuk Stop dan Lawan Kekerasan Seksual
Sudah bukan menjadi rahasia umum, jika kejahatan seksual atau kekerasan seksual yang terjadi di tengah masyarakat sering kali diabaikan. Hal ini berimbas banyak korban takut melapor, takut bercerita, hingga akhirnya menjasi semakin menderita.
Filmmaker Women From Rote Island ingin penonton menjadi saksi betapa nelangsa dan ngerinya kejahatan seksual yang terjadi di Indonesia.
“Film ini dibuat untuk menyuarakan stopkekerasan seksual. Stop, lawan. Maksudnya di sini adalah, mungkin kita kalau (hanya membaca berita atau dengar kabar dari orang) ‘Hei, itu orang diperkosa sama bapak tirinya, itu diperkosa sama bapak kandungnya, itu diperkosa sama pamannya, itu diperkosa sama teman-temennya’ hanya (diabaikan),” jelas Rizka Shakira.
“Tapi kalau kita lihat audio visualnya secara utuh, itu sakit, tertampar, sehingga kita akan respect (menghormati) para korban. Di film ini, lebih menampar tentang maaf saja tidak cukup, proses hukum terus berlanjut,” imbuh Rizka.
Realita tentang kurangnya edukasi kekerasan seksual menjadi poin penting dalam film Women from Rote Island.
Rizka Shakira mengatakan, tokoh Martha dalam film ini sebenarnya bisa sembuh jika mendapat penanganan yang tepat usai mengalami kekerasan seksual.
Begitu juga dengan korban kekerasan seksual di luar sana yang bisa sembuh jika mendapat pertolongan tepat. Cerita tentang keluarga Orpha yang menjadi korban kekerasan seksual dan pembunuhan, memberikan kesan mendalam bagi para penonton JAFF 2023.
Film berdurasi 108 menit itu membuat penonton kesal, gemetar, tertawa, dan menangis sampai ada ibu-ibu yang tidak dapat mengendalikan tangisnya usai pemutaran film selesai.
“Ada satu ibu-ibu tadi, saya suruh Ezra kejar. Zra, kejar. Dia (ibu-ibu itu) ngomong sama saya, huuu..huuu... (menangis tersedu-sedu). Saya peluk saja. Iya, iya, nggak usah ngomong, nggak usah ngomong, terus dia bilang, ‘Terima kasih ya pak’. Saya panggil Ezra suruh dia wawancara (ibu-ibu itu),” beber Jeremias.
Merlinda Dessy Adoe atau yang juga dikenal sebagai Linda Adoe berharap, film Women from Rote Island dapat menggerakkan hati banyak orang untuk menghentikan aksi kekerasan seksual.
“Harapannya, untuk semua perempuan atau laki-laki yang mengalami kekerasan seksual atau pelecehan seksual, di mana pun, film ini untuk kalian, kita ada untuk kalian, dan untuk kalian semua harus berani bicara, harus berani lapor, itu,” kata Linda Adoe.
“Karena banyak orang-orang yang mengalami hal seperti itu, tapi mereka malu, tidak berani, karena menganggap itu aib dan sebagainya, khususnya kayak di Rote, di Rote kan seperti itu, masih banyak orang yang belum berani untuk melapor,” tutur Linda Adoe.
Sebagai informasi, Women From Rote Island menggambarkan tentang kehidupan pilu sebuah keluarga yang terdiri dari tiga perempuan, yaitu Orpha (ibu), Martha (anak pertama), dan Bertha (anak kedua). Suami Orpha meninggal dunia, namun tidak segera dimakamkan karena menanti kedatangan si sulung yang masih bekerja sebagai tenaga kerja wanita (TKW) di Malaysia.
Usai kepulangan Martha, barulah suami Orpha dimakamkan. Namun, kondisi Martha tidak baik-baik saja. Ia tengah depresi akibat kekerasan seksual yang dialami selama menjadi TKW.
Bukan hanya Martha, Orpha dan Bertha juga mengalami kekerasan seksual di Pulau Rote. Kekerasan seksual yang dialami Martha tidak hanya satu atau dua kali saja. Sepulang dari Malaysia, ia kembali mengalami berbagai tindak kekerasan seksual di kampung halamannya.
Hal tersebut membuat kondisi kesehatan mental Martha semakin tidak stabil.
Musibah datang silih berganti menghampiri keluarga Orpha. Tak berhenti sampai kekerasan seksual saja, tapi juga pembunuhan yang merenggut nyawa salah satu anak perempuan Orpha.
Pulau Rote, Kabupaten Rote Ndao, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi latar untuk film Women from Rote Island.
Jeremias Nyangoen, sang sutradara menyebutkan, daerah Rote memang memiliki jumlah kasus kekerasan seksual dan pembunuhan yang cukup tinggi. Meski begitu, hingga kini belum banyak masyarakat yang paham menangani kasus kekerasan seksual.
Lantaran menampilkan beberapa adegan kekerasan seksual dan pembunuhan, film Women From Rote Island mendapatkan rating 17+ dari Lembaga Sensor Film (LSF) Indonesia.
Film ini jelas tidak untuk ditonton anak-anak maupun remaja.
Film Women From Rote Island menyabet penghargaan di FFI:
1. Film Terbaik
2. Sutradara Terbaik
3. Sinematografi Terbaik
4. Penulis Skenario Asli Terbaik
Kapan Film Women From Rote Island Tayang di Bioskop?
Hingga artikel ini tayang baik sutradara ataupun produser film Women From Rote Island tak memberikan keterangan pasti tentang film ini akan tayang di bioskop tanah air.
Meski begitu, Rizka Shakira selaku prodeuser menyebut bahwa film akan tayang sekitar Desember 2023 atau awal Januari 2024.
“Ya, siapa tahu tiba-tiba di pertengahan Desember begitu ya, atau kalau tidak ya tolong dimaafin (akan tayang) akhir Desember. Atau juga paling telat mungkin awal Januari. Ya, kita nggak tahu. Kita harus ngantre, kita harus menunggu bagaimana sih kebijakan mereka (bioskop),” kata Jeremias.