Menguak Kepedihan di Balik Eksotisme Pulau Rote Lewat Film Women from Rote Island

Beruntungnya, setelah dinobatkan sebagai film panjang terbaik itu, Women from Rote Island bisa menyapa lagi para penonton di Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) 2023.

Galih Priatmojo | Hiskia Andika Weadcaksana
Jum'at, 01 Desember 2023 | 10:50 WIB
Menguak Kepedihan di Balik Eksotisme Pulau Rote Lewat Film Women from Rote Island
Sesi diskusi usai pemutaran film Women from Rote Island saat JAFF 2023 di Empire XXI Yogyakarta, Rabu (29/11/2023). [suarajogja.id/Hiskia Andika Weadcaksana]

SuaraJogja.id -  Harus diakui tidak banyak yang menyangka bahwa Women from Rote Island berhasil menyabet gelar sebagai Film Panjang Terbaik di ajang penghargaan Festival Film Indonesia atau Piala Citra 2023. Mengingat film besutan sutradara Jeremias Nyangoen ini belum terlalu luas hadir di tengah penonton Indonesia. 

Itu yang kemudian memupuk rasa penasaran publik. Beruntungnya, setelah dinobatkan sebagai film panjang terbaik itu, Women from Rote Island bisa menyapa lagi para penonton di Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) 2023.

Film yang tayang perdana di Busan International Film Festival 2023 lalu itu masuk dalam program Indonesian Screen Awards di JAFF kali ini. Antusiasme penonton pun terbukti dengan sudah ludesnya tiket untuk dua kali pemutarannya.

Dibuka dengan hiruk-pikuk rumah Orpa (Linda Adoe) yang tengah diselimuti suasana duka seusai sang suami meninggal dunia. Orpa kini harus mengurus tiga orang anak perempuannya sendirian.

Baca Juga:Menjelajahi Mitos dan Petualangan Pubertas Remaja Perempuan di Malaysia Lewat Film Tiger Stripes

Kisahnya semakin kompleks ketika Orpa tidak hanya hidup sebagai ibu tunggal tapi juga harus berhadapan dengan berbagai diskriminasi terkait dirinya sebagai perempuan.

Tak hanya itu, Orpa juga harus berjuang melawan tradisi yang memberikan stigma bahwa kaum perempuan akan selalu dipandang sebagai gender kelas dua dalam lingkungan masyarakat. Dengan sekuat tenaga ia berusaha untuk menjaga dirinya sendiri serta anak-anaknya dari tindak kekerasan.

Seolah tak ingin menyia-nyiakan potensi Pulau Rote, lanskap keindahan alam dihadirkan dalam frame demi frame. Tak lupa dengan seluruh tradisi dan budaya yang ada di tengah masyarakatnya.

Namun film ini seolah menjadi pernyataan bahwa di balik keindahan Pulau Rote tersimpan banyak persoalan rumit yang tak terlihat. Betapa keras dan mengerikan kehidupan di sana yang jika dilihat lebih jauh akan terasa begitu kontras dengan keindahan alam serta sumber daya yang dimiliki.

"Kenapa Rote? Rote sangat indah tapi di dalam keindahan itu penuh dengan persoalan, seperti Indonesia ini," kata Jeremias saat sesi tanya jawab usai pemutaran di JAFF, Rabu (29/11/2023).

Baca Juga:Review Film: Jatuh Cinta Seperti Di Film-Film

Ada banyak isu yang disoroti dalam Women from Rote Island. Mulai dari tenaga kerja ilegal di luar negeri hingga kekerasan seksual di balik eksotisme Pulau Rote.

Jeremias mengatakan memerlukan riset panjang dalam menulis skrip film ini. Diakuinya hampir semua yang tertuang dalam film merupakan adat istiadat asli di daerah itu. Hanya ada satu adegan yang itu kemudian bersifat personal namun memberi kesan tersendiri dalam kisah tersebut.

Ia tak secara gamblang menyebut kisah dalam Women from Rote Island merupakan kisah nyata. Jeremias hanya mengatakan bahwa secara keseluruhan itu adalah dua cerita yang digabung menjadi satu.

"Riset panjang sekali, penulisan skrip sendiri sekitar 1 tahun 8 bulan. Ini sebenarnya ada 2 cerita yang dijadikan satu. Saya tidak berani mengatakan ini true story, pernah terjadi gak? Terjadi. Karena dua cerita yang dijadikan satu. Saya tidak berani mengatakan bahwa itu true story karena ada pertanggungjawaban lain yang harus saya lakukan sebagai penulis," ungkapnya. 

Kasus-kasus yang ditampilkan dalam film pun, kata Jeremias, baru secuil kengerian saja. Berdasarkan riset yang dilakukannya, kasus pembunuhan dan pelecehan seksual memiliki prosentase sangat tinggi di Rote.

"Sesungguhnya lebih mengerikan lagi," imbuhnya.

Tentang pilihan menumpuk atau memfokuskan berbagai kemalangan yang diderita pada keluarga Orpa, diungkapkan Jeremias, itu hanya perwakilan saja. 

"Ditumpuk dalam satu keluarga (Orpa) memang itu mewakili. Saya mencoba dua cerita jadi satu diwakilkan oleh sebuah keluarga tanpa menyebut nama, alamat dan segala macam. Kalau ditanya pernah terjadi gak? Terjadi," ungkapnya.

"Dengan observe dan riset yang lumayan paniang dalam penulisan. Bahwa memang kenapa itu ditumpuk jadi satu perwakilan dari banyaknya persoalan-persoalan itu," tambahnya.

Nama Jeremias mungkin tak terdengar baru dalam kancah sinema Indonesia. Ia sendiri dikenal lewat film Denias dan Senandung di Atas Awan.

Namun jika melihat dari jajaran pemainnya, tak ada nama-nama mentereng. Hampir semua pemain benar-benar baru dan belum pernah membintangi film sama sekali.

Linda Adoe sebagai pemeran Orpa mengaku Women from Rote Island merupakan film pertama baginya. Bahkan ia tak punya latar belakang bermain peran selama ini, mengingat pekerjaannya sebagai PNS.

"Kebetulan ini adalah film pertama saya dan saya tidak punya pengalaman di dunia akting. Pekerjaan saya sebagai PNS," kata Linda.

Linda tak bisa menutupi perasaan bangga dan senangnya film ini dapat diputar dan mendapat banyak penonton. Apalagi dengan sederet prestasi yang kemudian diterima.

"Kalau ditanya perasaan, luar biasa rasa bangga dan dengan ketidaktahuna dan dengan rasa tidak percaya diri saya tetapi saya berterima kasih dikasih kesempatan. Disediakan akting cosch sehingga bisa belajar mendalami karakter yang saya mainkan," ungkapnya. 

Women from Rote Island sendiri membawa pulang sejumlah piala dalam perhelatan Festival Film Indonesia (FFI) atau Piala Citra beberapa waktu lalu. Film ini memboyong seluruh kategori yang dinominasikan, mulai dari Sutradara Terbaik, Penulis Skenario Asli Terbaik, Pengarah Sinematografi Terbaik hingga yang paling prestisius yakni Film Cerita Panjang Terbaik.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak