SuaraJogja.id - KPU telah menyelenggarakan debat kedua untuk tiga kandidat cawapres pada Pilpres 2024 mendatang. Lantas siapa yang lebih unggul dalam debat dengan tema besar ekonomi tersebut?
Pakar politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Arya Budi membedah tiga performa para cawapres semalam. Ada empat hal yang menjadi penilaian dalam hal ini yaitu terkait program, pemahaman isu, retorika dan gestur.
Pertama terkait dengan program yang memang sudah dibawa oleh masing-masing kandidat. Dari tiga kandidat, program yang dibawa oleh cawapres nomor urut 1, Muhaimin Iskandar atau Cak Imin dinilai agak problematis.
"Untuk yang agak problematis beberapa program yang dilempar sama Cak Imin, misal soal 40 kota selevel Jakarta, kemudian slepet-slepet yang tidak semua orang juga cocok dengan istilah itu, yang dia berada di dalam imajinasi dia sendiri bahwa itu kata itu bagus tapi ternyata tidak semua orang simpatik dengan istilah itu," kata Arya saat dihubungi, Sabtu (23/12/2023).
Kedua terkait pemahaman isu dan merespon pertanyaan yang diajukan. Salah satu yang kemudian menjadi isu hangat adalah Ibu Kota Negara (IKN), mengenai sikap ketiganya apakah merevisi, menunda, melanjutkan atau membatalkan.
Lagi-lagi, menurut Arya, Cak Imin menjadi cawapres yang kembali kerepotan menghadapi isu tersebut. Meskipun cawapres nomor urut 2 Gibran Rakabuming Raka sempat ditodong oleh cawapres nomor urut 3 Mahfud MD terkait investor IKN.
Namun Gibran nyatanya dapat menampilkan persona dengan menjawab pertanyaan itu dengan lancar. Walaupun kemudian hal itu baru akan terklarifikasi setelah debat.
Agak kerepotannya Cak Imin dalam debat cawapres semalam dinilai akibat minimnya pengalaman Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu diranah eksekutif. Meski memang Cak Imin pernah ditunjuk menjadi Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi periode 2009-2014 silam.
Sementara Gibran masih berjalan dalam jabatan eksekutif sebagai Wali Kota Solo. Sehingga respon yang diberikan pun cukup banyak berdasarkan pengalamannya.
Begitu pula dengan Mahfud MD yang terlihat jelas hampir lebih dari separuh isu atau pertanyaan yang direspon menggunakan atau berbasis kepada pengalamannya sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam).
"Sementara Cak Imin praktis seluruh jawab dia tidak pernah mengungkap pengalaman dia di eksekutif. Sehingga itu yang kemudian dia agak kerepotan ketika merespon isu terutama IKN soal kota-kota dan seterusnya," paparnya.
Ketiga dari sisi retorika masing-masing cawapres. Gibran, disebut masih unggul dari segi retorika. Baik sengaja atau tidak sengaja, ia terlihat seperti mereplikasi cara Jokowi berbicara di depan publik.
"Yang agak beda adalah dia [Gibran] lebih agresif dan pada titik tertentu masih agak reaktif, Jokowi masih agak tenang. Gibran ini anak mudanya masih sangat kelihatan," ucapnya.
Misalnya saja ketika jeda setelah debat Gibran tiba-tiba kembali mengayunkan tangan untuk menyoraki pendukungnya. Kemudian bergerak ke depan podium dan mendekat ke arah Mahfud.
Satu sisi itu menunjukkan kepercayaan diri yang besar dari Gibran tapi satu sisi itu menjadi diferensiasi Gibran dengan Jokowi yang cenderung lebih tenang. Namun tak dipungkiri secara retorika Gibran mengungguli dua kandidat cawapres lain.
"Kedua adalah Mahfud, Mahfud ini bagus sebagai orang yang memang cenderung tegas jelas ya. Dia setiap selesai dalam durasi yang dialokasikan selalu mengatakan selesai. Jadi karakter hakim dia sangat kuat di sana, karakter sebagai orang hukum, harus clear semua. Sementara Cak Imin cukup kerepotan dalam manajemen waktu," tuturnya.
Padahal retorika ini, kata Arya penting untuk ditunjukkan. Sebab retorika berada lebih dari substansi yang disampaikan itu sendiri. Termasuk untuk meyakinkan publik tentang kepercayaan diri dan penguasaan isu.
"Nah itu yang kenapa di awal saya sampaikan Gibran agak lumayan di level itu karena tidak ada teks, mata dia kebawah itu nggak ada. Sementara Mahfud, Cak Imin apalagi yang closing statement itu wah dia baca semua. Secara retorika tidak menarik simpati, semua orang bisa membaca persoalannya. Sementara eye contact dengan berbicara lancar itu menunjukkan dia menguasai apa yang ingin disampaikan," paparnya.
Keempat yang terakhir mengenai gestur. Hampir mirip dengan retorika tapi penting untuk dimiliki masing-masing cawapres.
Arya kembali menyorot gestur Cak Imin dalam debat semalam yang dinilai kurang siap. Misalnya ketika momen Cak Imin menjatuhkan mikrofon.
Meskipun tidak secara langsung tapi hal itu berkontribusi secara disinsentif dalam mengurangi personanya. Sehingga berkontribusi pada gestur secara negatif disinsentif.
"Selain soal cenderung kaku, jawaban-jawaban sangat politisi karena dia memang ketua umum partai cukup lama, tidak memegang kursi eksekutif. Sementara Gibran dan Mahfud memang ketika masih running sekarang debat pun mereka masih berkomunikasi dengan urusan pekerjaan eksekutif masing-masing," ujarnya.
"Meskipun Mahfud juga lumayan tapi masih cenderung kaku mungkin dia bisa artikulatif seperti yang dilakukan Gibran," imbuhnya.
Secara umum, Arya menyatakan bahwa performa Gibran yang cukup dominan dan agresif ketika berdebat cukup mengejutkan beberapa pihak. Mengingat persona itu tidak ditunjukkan saat ia bertemu dengan media selama ini.
Sementara dua cawapres lain Cak Imin dan Mahfud MD yang membawa ekspektasi besar publik justru cukup banyak terpleset dalam beberapa hal.
"Jadi secara overall semua bisa merespon cuman memang yang cukup lancar merespon dengan kepercayaan diri yang lumayan tinggi memang Gibran, dia keluar podium berjalan ke kanan ke kiri ke depan. Kemudian Cak Imin berakhir dengan teks dan Mahfud MD berakhir dengan teks, dan Gibran suka tidak suka membayar lunas persepsi publik soal dia yang irit bicara dan akan kesulitan ternyata dia justru mempunyai performa cukup lumayan dibandingkan dua yang lain," pungkasnya.