SuaraJogja.id - Mahkaman Agung (MA) membantah dugaan adanya tindak pidana korupsi pada Mahkamah Agung RI berupa pemotongan honorarium penanganan perkara hakim agung sebesar Rp97 miliar. Dugaan korupsi itu sebelumnya diungkap oleh Indonesia Police Watch (IPW) beberapa waktu lalu.
"Bahwa tidak ada praktik pemotongan honorarium penanganan perkara hakim agung yang dilakukan secara paksa dengan intervensi pimpinan Mahkamah Agung," kata Juru bicara Mahkamah Agung (MA), Suharto, saat konferensi pers di Hotel Royal Ambarrukmo Yogyakarta, Selasa (17/9/2024).
Disampaikan Suharto, fakta yang terjadi adalah para hakim agung bersepakat untuk menyerahkan secara sukarela sebesar 40 persen dari hak honorarium penanganan perkara yang diterimanya. Umtuk kemudian didistribusikan kepada tim pendukung teknis dan administrasi yudisial.
Pernyataan penyerahan secara sukarela sebagian haknya tersebut dituangkan dalam surat pernyataan bermeterai yang diketahui oleh ketua kamar yang bersangkutan. Seluruh hakim agung telah membuat surat pernyataan penyerahan secara sukarela sebagian haknya atas honorarium penanganan perkara dan surat kuasa pendebetan.
Baca Juga:Gantikan Direktur yang Terseret Korupsi, Widayat Punya PR Besar di PT Taru Martani
"Dengan demikian, tidak benar ada hakim agung yang melakukan penolakan," ujarnya.
Terkait dengan tudingan Indonesia Police Watch (IPW) tentang dugaan korupsi Rp97 miliar yang digunakan oleh pimpinan MA untuk kepentingan pribadi, Suharto bilang sudah ada aturan pembagian atau pendistribusian Honorarium Penanganan Perkara (HPP).
Hal tersebut didasarkan daftar alokasi HPP yang dimuat dalam Memorandum Nomor 2606/PAN/HK.00/10/2022 tanggal 3 Oktober 2022 dan Nota Dinas Nomor 1808/PAN/HK.00/9/2023 tanggal 12 September 2023 tentang Perubahan Alokasi Honorarium Penanganan Perkara (HPP) Tahun 2023.
Dalam memorandum dan nota dinas yang bersifat internal tersebut, Panitera Mahkamah Agung menyampaikan informasi kepada para hakim agung, panitera muda dan panitera pengganti perihal adanya perubahan besaran HPP yaitu Ketua Majelis (26%), Anggota Majelis 1 (17%), Anggota Majelis 2 (17%), Panitera Pengganti (7,5%), Panitera Muda Kamar (1%), operator (3,55%) dan staf majelis (2%).
Berdasarkan penjumlahan besaran alokasi penerima HPP yang termuat dalam memorandum tersebut sebesar 74,05%, IPW menyimpulkan bahwa dana honorarium penanganan perkara yang didistribusikan hanya 74,05%, sedangkan sisanya, sebesar 25,95%, dipergunakan untuk kepentingan pribadi pimpinan.
Dengan asumsi alokasi HPP untuk perkara kasasi biasa sebesar Rp6.75 juta per perkara, nilai 25,95% tersebut setara dengan Rp1.751.625. Nilai tersebut kemudian dikalikan dengan jumlah perkara yang diputus oleh MA selama tahun 2022 sebanyak 28.024 dan perkara yang diputus selama tahun 2023 sebanyak 27.365.
"Mahkamah Agung menegaskan bahwa pernyataan IPW tentang adanya dugaan tindak pidana korupsi berupa pemotongan honorarium penanganan perkara hakim agung yang mencapai Rp.97.020.757.125 adalah tidak benar karena didasarkan pada pengolahan data dan informasi yang keliru," ungkapnya.
Suharto menanbahkan uang honorarium penanganan perkara itu dibagikan secara habis sebesar 100 persen kepada penerima alokasi sesuai besaran yang ditetapkan.
Dalam hal terdapat pejabat penerima yang tidak terisi baik karena pensiun maupun keadaan lain maka dilakukan redistribusi kepada
seluruh penerima.
Suharto menuturkan pernyataan IPW bahwa yang didistribusikan hanya sebesar 74,05 persen adalah tidak benar. Pasalnya perhitungan tersebut semata-mata didasarkan pada penjumlah data yang tersaji dalam memorandum Panitera MA kepada hakim agung.
"Memorandum tersebut hanya memuat daftar penerima HPP yang ada dalam kamar, sedangkan penerima alokasi HPP lainnya tidak dimuat dalam memorandum tersebut," ucapnya.
Berdasarkan Keputusan Panitera Mahkamah Agung, honorarium penanganan perkara dialokasikan kepada 43 kelompok penerima. Dengan kategori yakni majelis hakim (60%), supervisor (7%), pendukung teknis yudisial (29%) dan pendukung administrasi yudisial (4%).
"Distribusi honorarium penanganan perkara disesuaikan dengan peran dan tanggung jawabnya terhadap penyelesaian perkara pada Mahkamah Agung," tandasnya.
Penerima HPP, diungkapkan Suharto, dibagi pada dua kategori penerima. Pertama, individual artinya honor diberikan kepada yang
bersangkutan untuk dirinya sendiri misalnya Hakim Agung, Panitera Pengganti dan operator.
Kedua kolektif artinya HPP diberikan kepada yang bersangkutan sebagai perwakilan dari unit kerja. Oleh karena itu untuk yang kolektif, HPP tersebut dibagikan kepada staf yang berada di bawahnya.
Selain itu, ditegaskan Suharto, pelaksanaan pemberian honorarium penanganan perkara telah dilakukan audit oleh Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) pada tahun 2023. Hasil audit BPK tidak menemukan adanya indikasi penyimpangan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
"Adanya pendistribusian HPP kepada non-hakim agung yang berasal dari pemberian sukarela hakim agung setelah honorarium penanganan perkara diterimakan seluruhnya kepada hakim agung sepenuhnya merupakan persoalan perdata," pungkasnya.