Perubahan Iklim Ancam Sektor Pertanian, Bisakah Kita Bertahan dari Kekeringan?

Upaya mitigasi tidak hanya dilakukan oleh pemerintah, imbuh Djati, masyarakat juga dapat memenuhi kebutuhan air.

Muhammad Ilham Baktora | Hiskia Andika Weadcaksana
Minggu, 22 September 2024 | 23:05 WIB
Perubahan Iklim Ancam Sektor Pertanian, Bisakah Kita Bertahan dari Kekeringan?
Ilustrasi kekeringan akibat El Nino. (Dok: Kementan)

SuaraJogja.id - Pakar Mitigasi Bencana dari Fakultas Geografi UGM, Djati Mardiatno mengimbau pemerintah dan masyarakat untuk mengantisipasi datangnya kemarau panjang. Sistem irigasi yang berasal dari sungai, danau atau embung dapat dijadikan alternatif pengairan sawah.

Apabila kondisi geologis suatu wilayah tidak terdapat sumber air alami, Djati mengatakan bahwa antisipasi dapat dilakukan dengan penanaman komoditas yang tidak membutuhkan banyak air.

Selain menyediakan jutaan liter air bersih, pemerintah selama juga dapat melakukan pengadaan pemompaan air tanah. Dicontohkan Djati, Gunungkidul misalnya memiliki potensi air tanah yang dapat dimanfaatkan.

Secara geologis, tanah di Gunung Kidul memiliki material batan yang mudah larut. Material ini membuat air hujan yang masuk ke dalam tanah dapat disimpan dalam waktu yang lama.

Baca Juga:Mitos atau Fakta: Meditasi Bantu Atasi Kecemasan dan Tingkatkan Fungsi Otak?

Air disimpan di sungai-sungai bawah tanah dan gua-gua yang memiliki kedalaman mencapai 100 meter.

"Itu paling dangkal saja sekitar 50 meter. Jadi sungainya itu dalam sekali," kata Djati.

Kendati begitu memang dari segi biaya, pemompaan air dari sungai-sungai bawah tanah ini membutuhkan biaya yang tinggi. Mengingat air tidak dapat naik dengan mesin pompa dan mekanisme pemompaan biasa.

Dibutuhkan tempat yang posisinya relatif paling tinggi di suatu kawasan agar secara gravitasional. Sehingga air dapat didistribusikan ke sekitarnya.

Alternatif lain yang dapat dilakukan untuk menghadapi kekeringan adalah membuat sumber air buatan, seperti embung atau bendungan. Cara ini sering digunakan di daerah Nusa Tenggara Timur sebagai persiapan musim kemarau dan bencana kekeringan.

Baca Juga:Dianggap Tak Sesuai Fakta, Warga Ngembes Gunungkidul Tantang ORI DIY Buktikan Hasil Mini Riset di Wilayahnya

"Embung-embung itu untuk menampung air saat musim hujan, untuk kemudian bisa dimanfaatkan pada musim kemarau," tuturnya.

Upaya mitigasi tidak hanya dilakukan oleh pemerintah, imbuh Djati, masyarakat juga dapat memenuhi kebutuhan air di musim kemarau secara mandiri. Cara yang paling mudah adalah dengan membuat sistem penampungan air hujan di tandon-tandon air.

Tidak hanya dapat digunakan untuk kebutuhan irigasi. Air tersebut juga bisa digunakan untuk kebutuhan domestik seperti MCK dan masak apabila sudah dijernihkan.

"Tidak selalu harus menunggu dari pemerintah, sebetulnya secara mandiri masyarakat bisa dilibatkan," ujarnya.

Perkiraan iklim sebelumnya menyatakan bahwa puncak musim kemarau akan berlangsung pada bulan Agustus hingga September. Menurut Djati, bulan September adalah bulannya sumber mata air cenderung menjadi kering.

Adanya perubahan iklim, itu tidak menutup kemungkinan akan turunnya hujan di bulan Agustus-September meskipun sedikit. Namun salah satu sektor penting yang dirugikan dari perubahan iklim adalah sektor pertanian.

Sebab saluran irigasi merupakan unsur penting yang menggerakkan sektor ini. Tanpa pengairan yang cukup, tanaman tidak akan bisa tumbuh dan sawah akan mengering.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini