SuaraJogja.id - Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Yuris Rezha Darmawan, menyoroti lemahnya pengawasan pemerintah dan DPR dalam kasus dugaan korupsi di PT Pertamina Patra Niaga baru-baru ini.
Menurutnya dalam hal tata kelola migas termasuk dalam konteks kebijakan impor pengawasan selama ini masih tak maksimal. Apalagi kasus ini terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama pada rentang 2018-2023.
"Penegakan hukum harus lebih agresif dalam memberantas praktik-praktik mafia migas. Tidak hanya melalui penindakan terhadap pelaku, tetapi juga melalui perbaikan sistem pengawasan yang lebih ketat di sektor migas," kata Yuris, Rabu (5/3/2025).
Menurut Yuris, negara sudah seharusnya mempertimbangkan bagaimana memberikan kompensasi bagi masyarakat yang terdampak langsung pada kasus korupsi ini. Sedangkan selama ini, pembuat kebijakan memang tidak pernah membuat terang mekanisme masyarakat yang terdampak korupsi bisa melakukan gugatan.
Baca Juga:Gelombang PHK Meledak, Respons Minim Pemerintah dan Potensi Peningkatan Angka Pengangguran
Meskipun ada peluang melakukan gugatan class action dari masyarakat, akan tetapi akses hukumnya masih sulit dan sering kali ditolak oleh pengadilan.
"Saya kira ini juga perlu menjadi catatan bagi pemerintah, bahwa masyarakat yang secara nyata terdampak langsung dari kasus korupsi masih belum mendapatkan akses keadilan," ucapnya.
Yuris menilai kasus dugaan korupsi ini terjadi dengan sangat sistematis. Bukan hanya sekedar modus pengoplosan jenis bahan bakar minyak (BBM) untuk meraup keuntungan besar.
Jika memang konstruksi perkara yang disampaikan kejaksaan di persidangan nantinya terbukti, kata Yuris tentu modus korupsi ini terjadi dengan sangat terencana.
Dia memaparkan skema korupsi ini dimulai dari pengkondisian agar produksi minyak mentah dalam negeri menurun. Kondisi inilah yang dijadikan dasar untuk melakukan impor minyak mentah.
"Modus seperti ini sebetulnya bukan yang pertama kali. Bahkan di kasus-kasus korupsi impor yang lain, modus korupsi terencana selalu dimulai dari pengkondisian jumlah suatu produk sehingga pemerintah punya dalih untuk melakukan impor," ungkapnya.
Ditambahkan Yuris, proses impor tersebut yang kemudian dijadikan ladang korupsi, yang dilakukan dengan cara pengkondisian pemenang bagi perusahaan eksekutor impor serta penambahan harga impor atau mark up.
Pada kasus PT Pertamina Patra Niaga, praktik ini jelas tidak hanya merugikan konsumen yang mengonsumsi BBM, tetapi juga berdampak signifikan terhadap kerugian negara.