Joki dan Kecurangan Marak di Kampus, Dosen UGM Usulkan Reformasi Radikal

Dede menilai indeks integritas pendidikan di angka 69,50 menjadi peringatan.

Muhammad Ilham Baktora | Hiskia Andika Weadcaksana
Minggu, 04 Mei 2025 | 15:27 WIB
Joki dan Kecurangan Marak di Kampus, Dosen UGM Usulkan Reformasi Radikal
Potret mahasiswa yang sudah diwisuda. (Pixabay)

SuaraJogja.id - Dosen Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik Fisipol UGM Dede Puji Setiono menyoroti marak praktik joki dan tindakan curang yang dilakukan peserta calon mahasiswa baru dalam penyelenggaraan Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK).

Dede lantas membandingkan dengan hasil survei nilai Indeks Integritas Pendidikan tahun 2024 pada pekan lalu oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Nilai Indeks Integritas Pendidikan tahun 2024 ada di angka 69,50, atau berada di level Korektif.

Di sisi lain, Survei Penilaian Integritas (SPI) Pendidikan 2024 yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan 30 persen guru dan dosen masih menganggap wajar pemberian dari peserta didik mereka.

Baca Juga:Kantor Wakil Rakyat Dikunci, Aspirasi Pendidikan Terkunci? Hardiknas Berujung Ricuh di Yogyakarta

Temuan survei tersebut masih menjadi bukti terjadinya gratifikasi dan konflik kepentingan di ruang kelas mulai dari pendidikan dasar sampai jenjang perguruan tinggi.

"Jika kita mau jujur, ini bukan sekadar masalah angka, melainkan pertanda bahwa nilai-nilai integritas masih kalah saing dengan budaya 'yang penting kelar'. Tetapi, sebagai akademisi, saya juga melihat ini sebagai kesempatan untuk merevitalisasi sistem," kata Dede, Minggu (4/5/2025).

Dede menilai indeks integritas pendidikan di angka 69,50 menjadi peringatan dan perhatian semua pemangku kepentingan.

Baik lembaga pendidikan, pemerintah maupun bagi kalangan tenaga pengajar.

Pasalnya kondisi ini cermin dari sistem pendidikan yang menurutnya terjebak antara idealisme dan realitas pragmatis dalam membentuk SDM yang berkualitas dan berintegritas.

Baca Juga:Kemarau 2025 Lebih Singkat dari Tahun Lalu? Ini Prediksi BMKG dan Dampaknya

Berdasarkan hasil survei KPK tersebut, Dede mengusulkan Kemendikti Saintek dan Kemendikdasmen untuk pentingnya merancang program integritas berbasis bukti.

Sejumlah mahasiswa menjalani perkuliahan untuk mencapai target SKS dan juga ujian untuk bisa lulus dari perguruan tinggi tempatnya belajar. (Pixabay)
Sejumlah mahasiswa menjalani perkuliahan untuk mencapai target SKS dan juga ujian untuk bisa lulus dari perguruan tinggi tempatnya belajar. (Pixabay)

Misalnya, memasukkan modul anti-korupsi dalam kurikulum pelatihan guru atau membuat sistem penghargaan bagi sekolah yang transparan.

Ada tantangan terbesar lain yakni mengubah narasi bahwa 'kejujuran itu mahal'.

Tak jarang masih ada di sekolah, siswa jujur sering dianggap naif, sementara yang curang dipuji sebagai 'pintar mencari celah'.

Menurutnya, anggapan ini adalah kegagalan sistem evaluasi yang terlalu kaku.

Apalagi ujian nasional atau ujian ujian sejenis yang sifatnya menguji hafalan tanpa critical thinking.

Padahal, Dede mengambil contoh negara lain, seperti Finlandia misalnya, sudah membuktikan bahwa kurikulum fleksibel dan minim ujian standar justru melahirkan generasi kreatif.

Tidak hanya di lingkungan sekolah, imbuhnya, di lingkungan kampus juga marak praktik gratifikasi dan nepotisme. Untuk mencegah dan mengatasi praktik ini, ada sebaiknya membuat kebijakan yang lebih radikal.

Salah satunya, pihak kampus harus mempublikasikan rincian anggaran secara real-time di platform daring sehingga masyarakat tahu tarif dan biaya di setiap layanan.

Selanjutnya untuk sistem pengadaan barang harus melibatkan auditor independen, bukan sekadar panitia internal yang bisa diatur.

Sudah saatnya kampus menerapkan prinsip 'blind selection' dalam rekrutmen vendor atau staf secara lebih serius. Nama perusahaan dan pemiliknya disembunyikan saat penilaian proposal.

"Dengan begitu, 'koneksi' tak lagi jadi senjata utama dan yang terpenting, sanksi! Rektor atau kepala sekolah yang terbukti nepotisme harus dicabut jabatannya, bukan hanya diberi teguran," kata dia.

Apabila seluruh kebijakan radikal ini dibuat, Dede berharap sekolah dan kampus Indonesia bisa menjadi laboratorium integritas.

"Untuk mencapainya, kita perlu revolusi mindset. Pendidikan bukan sekadar transfer ilmu, tapi pembentuk karakter. Kurikulum harus diperbaiki, kurangi jam hafalan, tambahkan proyek sosial yang melatih empati dan kejujuran. Dan yang utama, jadikan integritas sebagai investasi, bukan beban," ujar dia.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak