SuaraJogja.id - Sistem pembayaran digital domestik yaitu Quick Response Code Indonesia Standar (QRIS) dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) tengah menjadi perbincangan hangat.
Hal itu usai kritik yang dilontarkan Pemerintah Amerika Serikat (AS) yang menilai penerapan QRIS membatasi ruang gerak pelaku industri global.
QRIS dan GPN sendiri adalah bagian dari sistem pembayaran nasional yang diterapkan sejak beberapa tahun lalu.
Sejak awal, kemunculan keduanya telah membawa banyak perubahan dalam sistem pembayaran di Indonesia secara umum.
Baca Juga:Juru Parkir Jogja Siap dengan QRIS, Ini Lokasi Pilot Projectnya
Dosen Departemen Manajemen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM), Nofie Iman Vidya Kemal, menilai QRIS/GPN merupakan salah satu kebijakan pemerintah yang perlu diberikan apresiasi lebih.
"Tidak banyak yang bisa dibanggakan dari kebijakan pemerintah belakangan ini, tetapi khusus QRIS/GPN harus diacungi jempol," kata Nofie dalam keterangannya dikutip Minggu (27/4/2025).
Menurut Nofie, QRIS dan GPN adalah bentuk ketahanan dan kedaulatan di bidang ekonomi.
"Logikanya sederhana, pembeli dan penjual di Indonesia, barang di Indonesia, transaksi pakai rupiah, mengapa payment gateway dan settlement harus lewat luar negeri?" ucapnya.
Dia bilang GPN dimungkinkan hanya bisa dikembangkan sebanyak jumlah masyarakat Indonesia. Namun untuk QRIS sebagai payment gateway dan settlement mechanism mempunyai potensi untuk dikembangkan lebih luas.
Baca Juga:Polemik Ijazah Jokowi, UGM Buka Suara Soal Komunikasi dengan Polisi
Hal itu mengingat negara-negara lain sebenarnya juga punya kepentingan bersama terhadap dedolarisasi. Singapura ada SGQR dan PayNow, DuitNow di Malaysia, Vietnam ada VietQR, ada Thai QR dan PromptPay di Thailand, dan seterusnya.