Di Tangan Perempuan, Keris Bicara Tentang Lingkungan dan Kesetaraan Gender

Di usianya yang masih tiga puluhan, ia telah menempa lebih dari 20 karya keris dan tombak.

Muhammad Ilham Baktora
Minggu, 01 Juni 2025 | 22:22 WIB
Di Tangan Perempuan, Keris Bicara Tentang Lingkungan dan Kesetaraan Gender
Empu perempuan, Intan Pangestu memperlihatkan keris-keris buatannya dalam Pameran Reka Cipta #2 Lumur Wesi Aji di Embung Giwangan, Kota Yogyakarta, Kamis (29/5/2025) petang. [Kontributor Suarajogja/Putu Ayu Palupi]

SuaraJogja.id - Di balik suara logam dipukul palu, dan aroma besi panas yang membumbung dari tungku tempa, berdiri seorang perempuan muda dengan tekad sekeras baja dalam Pameran Reka Cipta #2 Lumur Wesi Aji di Embung Giwangan, Kota Yogyakarta, beberapa waktu lalu.

Adalah Intan Pangestu, satu dari segelintir Empu Keris perempuan di Indonesia yang tidak sekedar mencipta keris namun juga menulis ulang sejarah peran perempuan dalam dunia yang selama ini didominasi laki-laki.

Perempuan asal Blitar kelahiran 1994 ini mencoba mendobrak tradisi bila pembuat keris hanyalah laki-laki.

Bilamana tidak, di antara ribuan empu keris yang tercatat dalam sejarah Nusantara, hanya segelintir empu perempuan, mungkin bisa dihitung dengan jari.

Di usianya yang masih tiga puluhan, ia telah menempa lebih dari 20 karya keris dan tombak.

Baca Juga:Rumah Ditinggal Liburan, Perempuan Ini Gasak Harta Tetangga, Isi Dompet Korban Ludes

Semuanya berangkat dari keyakinan bahwa warisan budaya tidak mengenal jenis kelamin. Padahal dulunya dia tak mengenal sama sekali tentang keris.

"Awalnya saya tidak tahu sama sekali tentang keris. Bahkan keluarga saya tidak ada darah seni. Tapi bapak pernah bercerita bahwa nenek saya adalah seorang empu keris. Sayangnya karya-karyanya sudah dikoleksi orang lain, dan namanya tidak pernah tercatat dalam sejarah," papar Intan dikutip, Minggu (1/6/2025).

Dari cerita lisan itulah, benih ketertarikan akan keris tumbuh. Tahun 2012, Intan mendapatkan beasiswa untuk kuliah di Institut Seni Indonesia (ISI) Solo.

Tanpa pengalaman atau pengetahuan dasar apapun, dia nekat masuk ke Program Studi Senjata Tradisional Keris.

Ternyata, keputusan itulah yang membawanya pada jalan hidup yang baru.

Baca Juga:Peringati Hari Kartini, BRI Berdayakan Wanita Indonesia Melalui Program BRInita

Dia bahkan mengetahui kalau ada Empu Keris legendaris perempuan bernama Mbok Sombro pada jaman Kerajaan Pajajaran yang akhirnya sangat menginspirasinya untuk mendalami keris.

Empu perempuan, Intan Pangestu memperlihatkan keris-keris buatannya dalam Pameran Reka Cipta #2 Lumur Wesi Aji di Embung Giwangan, Kota Yogyakarta, Kamis (29/5/2025) petang. [Kontributor Suarajogja/Putu Ayu Palupi]
Empu perempuan, Intan Pangestu memperlihatkan keris-keris buatannya dalam Pameran Reka Cipta #2 Lumur Wesi Aji di Embung Giwangan, Kota Yogyakarta, Kamis (29/5/2025) petang. [Kontributor Suarajogja/Putu Ayu Palupi]

"Dunia keris itu sangat laki-laki. Tapi saya ingin tahu, apakah perempuan juga bisa menempati ruang di sana? Saya belajar dari sejarah lisan tentang tokoh perempuan seperti Mbok Sombro, meskipun tak ada literatur resmi yang menyebut namanya. Dari situ saya merasa punya tanggung jawab melanjutkan jejak yang pernah ada," paparnya.

Sebagai empu, Intan tak hanya membuat keris. Ia menghidupkan nilai-nilai, simbol, dan filosofi di setiap bilahnya.

Salah satu karyanya yang paling berkesan berbentuk menyerupai daun pisang yang dipamerkannya kali ini. Daun Pisang dipilihnya sebagai simbol untuk merepresentasikan perjalanan hidup perempuan.

"Ada tiga fase daun pisang yang saya lihat, yang menggulung, mekar, dan sobek. Itu seperti perempuan yang lahir, tumbuh, dan menjalani berbagai peran dalam hidupnya, sebagai ibu, profesional, atau pembuat keris seperti saya," ungkapnya.

Pembuatan keris bagi Intan tak sekedar menempa besi. Satu keris yang dibuatnya dalam waktu dua hingga tiga bulan lamanya selalu dipenuhi filosofi dan kedalaman makna.

Ketertarikan Intan akan keris tak berhenti pada bentuk atau nilai simbolik. Ia juga bereksperimen dengan material.

Dalam bertema limbah industri kali ini misalnya, ia menggunakan knalpot bekas sebagai pengganti nikel dalam pembuatan keris.

Baginya, pilihan material adalah pernyataan bahwa budaya bisa berinovasi, beradaptasi, dan berbicara tentang zaman.

"Secara warna hasilnya mirip, karena knalpot masih mengandung krom atau nikel. Tapi yang penting juga adalah filosofi dan relevansinya dengan tema. Saya ingin karya saya bisa dialog dengan isu-isu hari ini, seperti lingkungan dan keberlanjutan," ujar dia.

Meski dunia keris identik dengan laku spiritual, Intan memilih pendekatan yang personal.

Ia tetap berdoa dalam setiap prosesnya, namun tidak menggunakan sesaji atau ritual tertentu.

"Saya mengikuti keyakinan saya sendiri. Yang penting adalah kesungguhan niat dan penghargaan terhadap proses," ujarnya.

Kini, Intan bukan hanya empu. Ia juga pengajar di kampus tempatnya dulu menimba ilmu.

Ia memperkenalkan keris kepada mahasiswa dan anak-anak lewat cerita dan bentuk-bentuk sederhana.

Baginya, pelestarian budaya harus dimulai sejak dini dan dari semua kalangan, termasuk perempuan.

Di tengah gempuran modernitas dan teknologi, Intan Pangestu memilih berjalan di jalan sunyi yang ditempa dengan tangan dan ketekunan.

Ia tidak hanya sedang membuat keris, namun juga menempa ruang baru bagi perempuan untuk berkarya dalam ranah warisan budaya.

Di setiap bilah keris yang ia hasilkan, tersembunyi pesan bahwa budaya bisa diwariskan, dirawat, dan diteruskan oleh tangan perempuan.

"Saya berharap lebih banyak perempuan tertarik mempelajari keris. Bukan cuma sebagai pembuat, tapi juga sejarawan, peneliti, pelestari. Dunia keris butuh lebih banyak suara perempuan," ungkapnya.

Anusapati, Direktur Program Reka Cipta #2 mengungkapkan, upaya pelestarian keris perlu dilakukan dalam berbagai cara, termasuk memperbarui konsepnya.

Salah satunya melalui proyek riset dan dokumentasi proses pembuatan karya-karya keris oleh empu-empu muda sekarang.

"Pelestarian keris sebagai warisan budaya itu bukan hanya sekadar nguri-uri peninggalan masa lalu, tapi justru yang lebih penting adalah menjaga sustainability-nya, bagaimana keberlanjutannya di masa depan. Nah, salah satunya adalah dengan munculnya karya-karya baru, empu-empu baru yang bisa meneruskan tradisi tersebut," ungkapnya.

Karenanya dalam pameran kali ini dihadirkan empat orang empu sebagai objek riset.

Yakni Empu Priyan dari Ronosari, Empu Puriyadi dari Gunung Kidul, Empu Intan Pangestu dari Solo dan Empu Tejo Tukarno dari Yogyakarta.

"Empat orang itu kami riset, prosesnya kami dokumentasikan dari awal sampai akhir, dan kemudian karyanya kami pamerkan di sini. Selain itu, kami juga mengundang beberapa empu. Jadi keris-keris kami perlakukan seperti karya seni rupa, kami memberikan tema dan mereka merespons tema yang kami tawarkan. Nah, kali ini temanya adalah recycle, jadi bisa kami relasikan dengan konteks ekologi," jelasnya.

Para empu menghadapi tantangan ini untuk menggunakan bahan-bahan daur ulang dalam penciptaan karya-karya keris.

Ada yang menggunakan paku bekas, ada yang memakai bekas bengkel, macam-macam sebagai campuran besinya, sehingga terbentuk pola-pola pamor yang juga inovatif.

Selain tema ekologi, keris yang identik klenik coba dihilangkan stereotipnya.

Dengan pameran kali ini, keris dikenalkan lebih terbuka, lebih inklusif, dengan suasana yang lebih kekinian.

"Kita enggak pakai gambaran orang kesurupan, tapi misalnya nanti akan ada bengkel terbuka. Suasana display-nya juga kami buat lebih kontemporer. Ini kami hadirkan sebagai karya seni masa kini. Justru kita sedang menghilangkan stigma-stigma negatif tersebut," imbuhnya.

Kontributor : Putu Ayu Palupi

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak