- Sampah menjadi persoalan yang belum menemukan solusi di DIY
- Ribuan ton sampah organik di DIY belum tertangani
- UNISA hadir ke sejumlah wilayah di Sleman untuk memberikan inovasi penanganan sampah berupa biopori
SuaraJogja.id - Persoalan sampah masih menjadi pekerjaan rumah besar di DIY.
Padahal pada 2026 mendatang, Pemda DIY memastikan TPA Piyungan tidak akan lagi bisa menampung sampah dari kabupaten/kota di DIY.
Padahal setiap hari, Kabupaten Sleman saja memproduksi sekitar 602 ton sampah.
Dari jumlah itu 47–50 persen di antaranya berupa sampah organik.
Baca Juga:STOP Bakar Sampah! Bupati Bantul Desak Warga Lakukan Ini untuk Selamatkan Lingkungan
Sementara itu, di Kota Yogyakarta potensi timbunan sampah mingguan mencapai 1.423 ton. Sedangkan kapasitas pengolahan hanya sekitar 1.650 ton per minggu.
Artinya, ribuan ton sampah organik belum tertangani secara optimal.
Menjawab tantangan ini, 2.000 mahasiswa baru (maba) Unisa Yogyakarta terjun ke sejumlah dusun di Sleman untuk membantu warga mengolah sampah organik.
Mereka memperkenalkan inovasi sederhana bernama Losida atau Lodong Sisa Dapur serta ember tumpuk dan lubang biopori.
"Losida ini bisa jadi solusi murah dan praktis untuk mengubah sisa makanan menjadi lindi dan kompos," ujar Rektor Unisa, Warsiti di Yogyakarta, Senin (15/9/2025).
Baca Juga:Jogja Siaga Banjir, Peta Risiko Bencana Diperbarui, Daerah Ini Masuk Zona Merah
Pengolahan sampah organik ini, menurut Warsiti sangat penting.
Sebab seringkali warga justru menyepelekan sampah organik. Karenanya perubahan perilaku merawat lingkungan sangat dibutuhkan.
"Sampah organik sebenarnya mudah diolah, tapi sering disepelekan," ungkapnya.
Program ini, lanjutnya merupakan kelanjutan dari inisiatif pengolahan sampah plastik yang pernah dijalankan sebelumnya.
Tahun ini fokus pengolahan sampah diarahkan pada sampah organik yang selama ini paling banyak dihasilkan rumah tangga.
Mahasiswa membantu warga membuat ember tumpuk yang berisi lapisan tanah dan sampah dapur.
Saat sampah terurai, cairan lindi yang dihasilkan bisa dimanfaatkan sebagai pupuk tanaman di pekarangan.
Mereka juga membuat teknologi sederhana dalam bentuk lodok atau lubang biopori dari pipa pralon yang ditutup tanah.
Warga diajarkan membuang sampah organik di lodok yang dibangun di rumah-rumah mereka.
"Kalau dilakukan terus menerus, hasilnya bisa ekonomis. Bahkan, anak-anak bisa ikut mempraktikkan di rumah. Tidak harus ukuran besar, ember kecil pun bisa," jelasnya.
Sementara Kepala Dusun Cambahan, Solihin Nurcahyo mengaku inisiatif mahasiswa membawa dampak positif, sekaligus menyadarkan pentingnya kemandirian dalam mengolah sampah.
"Sebab selama ini walaupun sudah ada petugas sampah lewat iuran, banyak warga yang menyepelekan pengolahan sampah dapur mereka," jelasnya.
Ia menambahkan, program ini masih percontohan, sehingga satu ember tumpuk dipakai bersama tiga rumah.
Namun ke depan, diharapkan setiap RT bisa memiliki fasilitas serupa.
Tantangan terbesar, menurutnya, adalah kesadaran memilah sampah sejak dari rumah.
Banyak warga yang merasa sudah membayar iuran sampah, sehingga tidak peduli lagi pada proses pengelolaan.
"Itu yang paling sulit. Padahal plastik ini sangat sulit diatasi. Jalan beberapa langkah saja sudah ketemu plastik," ujarnya.
Salah seorang mahasiswa, Nayla Nabila mengungkapkan gerakan ini bukan hanya sebatas praktik, tapi juga membawa pesan edukasi.
Lewat aksi di lapangan, mereka mengajak masyarakat mengubah cara pandang terhadap sampah, dari yang dianggap beban menjadi sumber manfaat.
"Sampah organik ternyata bisa diolah menjadi pupuk yang bermanfaat, ini yang coba kami sosialisasikan ke warga," imbuhnya.
Kontributor : Putu Ayu Palupi