Kerajinan Kuningan dari Ngawen Sleman: Suara Klinting yang Jadi Rujukan Pelaku Seni

Klinting kuningan Ngawen dibuat manual dengan bahan murni, menghasilkan suara nyaring. Jumlah perajin menyusut, meski Pemkab Sleman dukung promosi.

Budi Arista Romadhoni | Hiskia Andika Weadcaksana
Senin, 01 Desember 2025 | 14:07 WIB
Kerajinan Kuningan dari Ngawen Sleman: Suara Klinting yang Jadi Rujukan Pelaku Seni
Perajin kuningan di Desa Ngawen, Sidokarto, Godean, Sleman, Minggu (30/11/2025). [Suara.com/Hiskia]
Baca 10 detik
  • Perajin di Desa Ngawen, Sleman, secara tradisional mengubah rongsokan kuningan menjadi klinting bernilai tinggi melalui proses pengecoran manual.
  • Kualitas klinting Ngawen terjamin karena menggunakan kuningan murni dengan campuran minimal, menghasilkan suara nyaring dan ketahanan lama.
  • Jumlah perajin menyusut drastis, namun pemerintah berupaya mendukung promosi agar tradisi pembuatan klinting ini dapat bertahan.

SuaraJogja.id - Bagi sebagian warga di desa Ngawen, Sidokarto, Godean, Sleman, kuningan merupakan benda istimewa. Melalui tangan-tangan cekatan yang sudah turun-temurun, kuningan dari rongsok diubah menjadi produk yang bernilai.

Kini suara logam halus dari klinting pun sudah lama menjadi bagian identitas. Klinting dari kuningan yang dihasilkan di sini tidak sekadar barang kerajinan.

Melainkan bagian dari ragam seni tradisional dan kepercayaan pelaku seni, mulai dari jeritan gamelan hingga denting tari topeng.

Salah satu perajin kuningan yang juga membuat klinting, Ika Andrianti (43), klinting di Ngawen tetap diolah secara manual, dengan keseriusan menjaga keaslian bahan. 

Baca Juga:Gagal Pindah! Lahan Sekolah Pengganti SD Nglarang Ternyata Lahan Sawah Dilindungi

Ia menjelaskan bahwa dari bahan kuningan murni, dan melalui proses pengecoran tradisional, klinting dapat menghasilkan suara nyaring dan tahan lama. Karakteristik itu yang dicari para pemesan dari kini mayoritas memang dari kalangan seniman.

"Kalau murni kuningan awet, kalau banyak campuran mudah patah," kata Ika, Minggu (30/11/2025).

Ia menegaskan bahwa kualitas dan keuletan tangan menjadi pembeda utama antara klinting Ngawen dengan produk massal.

Bahkan, saat bubut dan pembersihan akhir dilakukan dengan seksama, klinting ini dibuat dengan proporsi campuran kuningan hanya kecil.

"Misal 100 kg kuningan, nanti campurannya cuma 3 sampai 5 kg," ungkapnya.

Baca Juga:Program Barter Sampah Rumah Tangga di Jogja: Dapat Sembako dari Beras hingga Daging Segar

Hasilnya tak perlu diragukan lagi, suara jernih, resonansi kuat, dan ketahanan lebih unggul dibanding produk campuran.

Berdasarkan keunggulan kualitas inilah, tak sedikit pelaku seni, mulai dari tari hingga kelompok musik tradisional memilih klinting Ngawen. 

Mereka datang dari berbagai daerah, kadang langsung ke Ngawen atau memesan via media sosial. Berharap mendapatkan kualitas terbaik.

Ika menyebut bahwa pengrajin mereka biasanya bekerja atas dasar pesanan. Sistem ini memungkinkan setiap klinting dibuat sesuai kebutuhan dan keinginan pemesan, menjaga kontrol kualitas agar tetap terjaga.

Proses Panjang di Balik Klinting Berkualitas

Perajin kuningan di Desa Ngawen, Sidokarto, Godean, Sleman, Minggu (30/11/2025). [Suara.com/Hiskia]
Perajin kuningan di Desa Ngawen, Sidokarto, Godean, Sleman, Minggu (30/11/2025). [Suara.com/Hiskia]

Setiap keping kuningan yang akan menjadi klinting di Ngawen melalui rangkaian proses panjang. Apalagi seluruhnya masih dibuat secara manual atau handmade.

Ika menjelaskan bahwa tak ada produksi harian, pengecoran, pencetakan, pembakaran, hingga bubut atau penghalusan dilakukan secara manual. Menuntut ketelatenan dan ketelitian tinggi dari tangan para pembuat.

"Proses kurang lebih dua minggu, tergantung cuaca dan pesanan," tandasnya.

Menurut Ika, kunci kualitas terletak pada kesabaran dan keuletan tangan. Bila terlalu tergesa atau campuran logam tidak presisi, hasilnya bisa patah atau suaranya tidak nyaring. 

Oleh sebab itu mereka memilih bahan kuningan murni, dengan campuran seminimal mungkin.

"Kalau murni kuningan, suara nyaring, awet, enggak gampang pecah," terangnya.

Hal ini pula yang membuat klinting Ngawen tetap dicari, terutama oleh pelaku seni yang mengutamakan kualitas bukan kuantitas.

Pasca-Pandemi Pesanan Merosot

Perajin kuningan di Desa Ngawen, Sidokarto, Godean, Sleman, Minggu (30/11/2025). [Suara.com/Hiskia]
Perajin kuningan di Desa Ngawen, Sidokarto, Godean, Sleman, Minggu (30/11/2025). [Suara.com/Hiskia]

Setelah beberapa tahun masa lesu sejak pandemi, klinting Ngawen mulai merasakan kebangkitan. Meskipun tidak setinggi saat sebelum pandemi.

Apalagi Ika bilang bahwa periode 2022–2023 sempat menjadi masa 'mati suri' bagi para perajin sebab lesunya pemesanan.

Dulu pelanggan klinting datang dari berbagai daerah, mulai dari Bali, Sumatera, Kalimantan, maupun kota-kota lain. Ada yang datang langsung ada pula yang mengontak perajin via media sosial.

Kendati tak seramai itu, tapi belakangan kegiatan produksi mulai merangkak kembali. Terlebih dengan menggeliatnya kembali kegiatan seni dan alokasi dana kebudayaan di berbagai daerah seperti Magelang, pesanan perlahan mulai berdatangan. 

"Ya akhir-akhir ini lumayan, daripada yang kemarin-kemarin itu," ucapnya.

Perajin Menyusut hingga Pemasaran Terbatas

Perajin kuningan di Desa Ngawen, Sidokarto, Godean, Sleman, Minggu (30/11/2025). [Suara.com/Hiskia]
Perajin kuningan di Desa Ngawen, Sidokarto, Godean, Sleman, Minggu (30/11/2025). [Suara.com/Hiskia]

Salah satu tantangan paling nyata adalah berkurangnya jumlah perajin. Dari puluhan, kini hanya tersisa sekitar enam orang yang masih aktif membuat klinting atau berkutat pada kuningan. 

Proses panjang dan memakan energi membuat generasi muda enggan terjun.

"Sekarang tinggal enam sampai tujuh perajin," kata Dukuh Ngawen Imam Nugroho.

Sementara itu, persaingan dari produk pabrik yang dibuat massal, cepat, dan lebih murah menjadi tantangan berat. Banyak pembeli yang cenderung memilih harga rendah, tanpa memperhatikan kualitas.

Padahal, menurut Imam, suara dan ketahanan klinting Ngawen jauh berbeda.

Baginya, kondisi itu bukan sekadar penurunan aktivitas ekonomi, tetapi sebagai pertanda makin hilangnya sebagian denyut tradisi yang telah menghidupi desa turun-temurun.

Dalam situasi yang semakin menantang, ia berharap ada dukungan untuk membuka jalan pemasaran yang lebih luas. Imam menyebut perlunya pendampingan agar produk Ngawen dapat menjangkau lebih banyak pembeli.

"Harapan kami bisa dibantu kaitannya dengan pemasaran," harapnya.

Selama ini, pemasaran memang masih sederhana. Mereka mengandalkan jejaring pelaku seni yang pernah bekerja sama lewat program dinas, misalnya dari Jawa Tengah. 

Termasuk metode 'getok tular' adalah yang paling sering terjadi, sebab promosi digital belum mampu mereka optimalkan.

"Pemasaran onine belum aktif, belum optimal," ucapnya.

Tak Dibiarkan Menghilang 

Meski banyak tantangan, Pemerintah Kabupaten Sleman mengaku tak tinggal diam. 

Kepala Bidang Perindustrian, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sleman (Disperindag Sleman) Wulan Wulandari, mengungkapkan bahwa kualitas klinting Ngawen sudah diakui dan menjadi tolok ukur keunggulan.

"Mutu yang dibuat di Ngawen itu istimewa sehingga jarang terjadi repeat order, rusaknya jarang sekali," ujar Wulan.

Hal itu yang membedakan antara klinting tangan dengan produk campuran massal.

Disperindag menyatakan akan mendukung upaya promosi, termasuk melalui media sosial dan pemanfaatan fasilitas seperti gedung milik Dekranasda Sleman.

Tujuannya supaya klinting Ngawen dapat dikenal lebih luas. Hal ini dianggap penting, sebab banyak kompetitor menawarkan harga rendah dengan kualitas tidak sebanding.

Dengan dukungan itu, perajin berharap bisa memperluas pasar, menarik generasi muda kembali, dan menjaga agar tradisi klinting tetap hidup. 

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini

Tampilkan lebih banyak