Scroll untuk membaca artikel
Chandra Iswinarno
Kamis, 21 Maret 2019 | 16:36 WIB
Peneliti Geologi UGM Wahyu Wilopo. [Suara.com/Sri Handayani]

SuaraJogja.id - Setelah peristiwa tanah longsor yang terjadi di Makam Raja-Raja Mataram, Imogiri, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Universitas Gadjah Mada (UGM) menerjunkan mahasiswa untuk melakukan pemetaan dan analisa kejadian tanah longsor.

Hasil kajian tersebut dipaparkan hari ini, Kamis (21/3), di Fakultas Teknik Geologi.

Peneliti UGM Wahyu Wilopo mengatakan gerakan tanah atau longsor di Makam Raja Imogiri dipicu oleh curah hujan tinggi pada 17 Maret 2019. Pada hari tersebut, kata Wahyu, intensitas curah hujan mencapai 148 milimeter per hari.

Jika dikalkulasi dalam empat hari terakhir sebelum kejadian, ucap Wahyu, curah hujan mencapai hampir 300 milimeter per hari.

Baca Juga: BPN Klaim Sandiaga Tak Pernah Lakukan Pencitraan di Pilpres 2019

"Saya kira itu hujan yang sangat tinggi sekali, menyebabkan banyak kejadian longsor. Tidak hanya di Imogiri, dalam sejarah longsor di Jawa hampir semua kalau curah hujan lebih dari 100 milimeter per hari biasanya menyebabkan terjadinya longsor," kata Wahyu di Fakultas Teknik Geologi UGM, Sinduadi, Mlati, Sleman, Kamis (21/03/2019).

Di sisi lain, kondisi tanah di sekitar Makam Raja Imogiri memang rentan longsor. Sebagian daerah itu terdiri dari lereng curam. Batuan yang ada juga telah mengalami pelapukan, sehingga rentan sekali longsor.

Gerakan tanah di Makam Raja Imogiri secara umum memiliki karakteristik tipe luncuran (rotational sliding).

Ini merupakan longsor dengan bidang luncur berbentuk kurva melengkung. Kejadian ini berdampak ke rumah warga dan infrastruktur jalan.

Setelah terjadi longsor, ada beberapa retakan yang kini masih rentan.

Baca Juga: Ini Penyebab Kebakaran Kompleks Kelenteng Tertua di Semarang

Retakan utama atau mahkota longsor terjadi di sisi barat bangunan Calon Makam Sri Sultan Hamengku Buwono X. Lebarnya mencapai sekitar 35 meter dengan kedalaman sekitar 25 meter.

Load More