Scroll untuk membaca artikel
Reza Gunadha
Selasa, 02 April 2019 | 15:54 WIB
Slamet Jumiarto, 42, menunjukan SK larangan non muslim tinggal di Dusun Karet, Desa Pleret, Kecamatan Pleret, Bantul, Selasa (2/4/2019). [Harian Jogja/Ujang Hasanudin]

SuaraJogja.id - Jumat (29/3/2019) lalu, Slamet Jumiarto, mengemasi seluruh barang-barangnya dari sebuah rumah yang dihuninya di Notoprajan, Kota Yogyakarta.

Ia bersama istri dan kedua anaknya memiliki harapan besar untuk bisa menghuni sebuah rumah yang ia sewa dengan harga Rp 4 juta per tahun di Kabupaten Bantul.

Rumah itu berada di Dusun Karet, Desa Pleret, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul. Hari itu juga, pria yang sehari-hari berprofesi sebagai seniman lukis ini memboyong anak istrinya berikut seluruh barangnya ke Dusun Karet.

Dusun itu berjarak sekitar 15 kilometer dari jantung Kota Jogja. Sebelum ia memutuskan tinggal di dusun tersebut, lelaki berusia 42 tahun tersebut sudah menyampaikan kepada perantara kontrakan dan pemilik kontrakan mengenai identitasnya.

Baca Juga: Sejumlah Pihak Kecam Dugaan Jual Beli Lahan Cagar Budaya RS Kadipolo

Indentitas tersebut termasuk soal keyakinan diri dan keluarganya, yang penganut Katolik dan Kristen. Ia mengatakan, saat berkomunikasi dengan pemilik kontrakan, tak ada yang dipersoalkan.

Karena itulah, hari Jumat itu juga, ia langsung memboyong anak istri setelah melakukan transaksi dengan pemilik rumah.

Sebagai pendatang baru, Slamet tetap menunjung tinggi tata krama. Salah satunya, ia langsung melapor kepada RT setempat sekaligus menyerahkan fotokopi kartu keluarga, kartu tanda penduduk, dan surat nikah.

Namun alangkah terkejutnya saat ketua RT setempat tidak bisa memutuskan untuk memberikan izin dia tinggal di rumah yang sudah dikontrak.

"Setelah melihat [kolom] agama, ketua RT tidak bisa memutuskan karena di desa katanya ada aturan menolak pendatang atau kos, mengontrak, domisili permanen yang non-muslim [sic!]," kata Slamet saat ditemui Harianjogja.com—jaringan Suara.com di rumah kontrakannya, Selasa (2/4/2019).

Baca Juga: Menlu Disebut Kampanyekan Jokowi, Kemenlu Tak Akan Laporkan Rizieq Shihab

Aturan yang dimaksud Slamet itu merupakan surat keputusan (SK) Nomor 03/Pokgiat/Krt/Plt/X/2015 yang dikeluarkan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa, Kelompok Kegiatan atau Pokgiat Dusun Karet.

Dalam SK yang ditandatangani oleh Kepala Dusun Karet Iswanto dan Ketua Pokgiat Ahmad Sudarmi itu, berisi beberapa poin syarat bagi pendatang. Di antaranya tak mau menerima warga pendatang kalau bukan beragama Islam.

Sebagai WNI, Slamet merasa haknya untuk tinggal sudah dibatasi, dan aturan tersebut termasuk mendiskriminasikan kelompok tertentu.

Ia berusaha untuk menemui kepala keamanan kampung setempat, namun ditolak. Berbagai upaya komunikasi di wilayah dusun setempat sudah ditempuh Slamet dengan harapan ia bersama keluarganya bisa tinggal di rumah yang sudah disewa.

Namun, karena tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan, akhirnya Slamet melapor ke Sekretaris Daerah (Sekda) DIY, hingga kemudian diarahkan ke Sekda Bantul, lalu diantar ke kantor Kelurahan Pleret.

"Mediasi di kelurahan enggak ada solusi," ucap Slamet. "Sesepuh, ustaz sebenarnya tidak mempermasalahkan selama warga mengiyakan," tambahnya.

Proses mediasi kembali berlanjut Senin (1/4/2019) malam. Dalam mediasi tersebut dihadiri Kepala Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Fatoni, Camat Pleret Ali, Kepala Desa Pleret Nurman Afandi, Kepala Dusun Pleret Iswanto, Ketua Pokgiat Ahmad Sudarmi, dan Suroyo selaku pemilik rumah.

Mediasi itu memberikan beberapa tawaran di antaranya, Slamet diberikan waktu tinggal selama enam bulan.

Merasa diusir secara halus, ia berusaha menolak solusi tersebut, "Saya pikir ini penolakan halus. Saya minta uang kembali utuh daripada hanya enam bulan," katanya.

Slamet sempat menyampaikan solusi dengan minta uang kembali dan mencari kontrakan lain, namun uang sudah digunakan pemilik kontrakan sehingga pemilik meminta waktu untuk mengembalikan.

Warga asli Semarang, Jawa Tengah ini mengakui sebenarnya ingin melanjutkan tinggal di Dusun Karet karena repot kalau harus mencari lagi kontrakan.

Ia merasa hak kewarganegaraannya dirampas dengan adanya aturan yang dinilainya diskriminatif. Ia berharap, aturan semacam itu harus diubah karena jika terus dibiarkan akan berbahaya juga buat pendatang baru lain.

Load More