Scroll untuk membaca artikel
Agung Sandy Lesmana
Kamis, 04 April 2019 | 19:59 WIB
Slamet Juniarto. (Suara.com/Sri Handayani)

SuaraJogja.id - Nama pelukis asal Semarang, Slamet Juniarto, menjadi perbincangan dunia maya dalam beberapa hari terakhir. Pasalnya, ia membongkar adanya kelompok warga yang membuat peraturan dan melarang nonmuslim tinggal di Dusun Karet, Pleret, Bantul, Yogyakarta. Setelah ramai diberitakan, Slamet akhirnya diperbolehkan tinggal di perkampungan tersebut. 

Suara.com pun mencoba menggali kehidupan Slamet dengan menyambangi langsung rumah kontrakannya  pada Kamis (4/04/2019).  Lelaki berambut gondrong itu tinggal di kontrakan seharga Rp 4 juta  per  tahun bersama istrinya, Maria Florentina Priyati, dan keempat anaknya. 

Slamet mengaku telah menetap di Yogyakarta sejak 2001. Meski telah berpindah rumah kontrakan sebanyak 14 kali, baru awal April lalu, ia mendapati pengalaman ditolak warga karena beragama Katolik.

"Saya sudah pindah ke mana-mana, sudah 14 kali sejak 2001. Tapi baru di sini ditolak," kata Slamet di rumahnya.

Baca Juga: Taklukan Ranking 12 Dunia, Kevin / Marcus Perpanjang Superioritas

Slamet mengaku telah mencintai dunia melukis sejak sekolah dasar. Awalnya, ia belajar secara autodidak dengan berbekal bakat yang ia peroleh dari neneknya, Samadi. 

Slamet mulai mendalami bakatnya ketika sekolah di SMK St. Fransiskus, Semarang. Meski mengambil jurusan batik, ia terus melatih kemampuan melukisnya. Ia juga belajar membuat patung. 

Dari keahliannya, sejak SMK ia sudah menghasilkan uang. Ia mulai menjual lukisan-lukisannya. Ia juga menerima order sablon bersama teman-temannya. 

"Lalu nikah. Jadi saya jual lukisan untuk menikah," kata dia. 

Slamet mengaku memiliki dua rumah, warisan dari kedua orang tuanya. Satu rumah ia kontrakan, sementara yang lain ditinggali sanak keluarga. 

Baca Juga: BPN Klaim Pilot Pesawat Prabowo Subianto Ditekan Pihak Tertentu

Slamet memilih menjalani laku seninya di Yogyakarta. Ia merasa, apresiasi seni dan budaya di kota itu jauh lebih baik, begitu pula suasana persaingannya.

Pindahnya Slamet ke Yogyakarta meninggalkan banyak cerita. Ia menuturkan, ketika itu dirinya hanya memiliki uang Rp 200 ribu. Istrinya sempat menangis ketika ia hendak pergi ke Yogyakarta. Wajar saja, keduanya terbiasa selalu bersama. 

Kepada sang istri, ia hanya meninggalkan uang Rp 25 ribu. "Sisanya saya bawa ke sini (Yogyakarta). Saya naik bus waktu itu Rp 8 ribu," kata dia. 

Sesampai di Yogyakarta, ia pun mencari becak dan menyewa tempat tinggal. Uang yang tersisa tak cukup untuk membiayai kosnya yang hanya seharga Rp 65 ribu. 

Slamet membuka lapak lukis di depan Gedung Agung. Selama sepekan, belum ada seorang pun yang memintanya melukis. Sementara uang di sakunya kian menipis. 

Untuk mengobati pergumulan hatinya, Slamet pun berdoa dan meminta rezeki kepada Tuhan. Pagi harinya, seorang perempuan datang dan memesan dua lukisan sebagai hadiah untuk orang tuanya. 

Load More