Lulusan Politeknik Akademik Teknologi Kulit Yogyakarta itu masih ingat betul, pernah ada alat musik yang tidak jadi dan tidak bunyi. Padahal sudah akan diambil oleh pembeli.
Dari sana, ia belajar bahwa konsistensi kualitas harus dijaga sejak awal. Menurut Permadi, mereka bukan sekadar menjual barang, akan tetapi kualitas.
Ia mengungkapkan, Bondho Gongso tak pernah mencari tahu harga set gamelan di toko atau perajin lainnya. Bahkan ia tak mau mencari tahu.
Bondho Gongso tak hanya menerima pembelian baru, namun melayani perbaikan gamelan. Tak jarang mereka harus memperbaiki set gamelan berusia puluhan tahun. Tak ada tips lain, kecuali memperbaikinya dengan ekstra hati-hati.
"Banyak yang service di sini. Dari luar kota, luar pulau. Sejak zaman Bapak dulu sudah begitu," terang Permadi.
Yang unik dari usaha set gamelan ini adalah adanya perbedaan nama alat musik antara satu daerah dengan daerah lainnya.
Misalnya di Sumatera dan Jawa, pemahaman gong itu berbeda di dua wilayah itu. Kalau di Sumatera, gong itu berukuran kecil, sementara di Jawa, untuk dimensi yang sama disebut bendhe. Pasalnya, yang dinamakan gong di Jawa berukuran jauh lebih besar.
"Dulu pernah dapat pesanan dari Sumatera, mintanya gong. Jadilah kami buatkan gong yang besar. Begitu sudah dilihat pemesan, ternyata yang dimaksud itu gong berukuran kecil yang kalau di sini disebut bendhe itu," ungkap Permadi disambung tawa tawa.
Walau sudah begitu, sebagai penjual, ia dan kakaknya selaku pemilik, tak mempermasalahkan. Mereka membuatkan bendhe untuk pemesan dan menyimpan gong yang sudah jadi, bila ada pesanan lainnya.
Baca Juga: Wah, Jusuf Kalla Dapat Kado Perpisahan Vespa Lawas dari Paspampres
Persoalan itu sudah mampu diminimalisasi di masa sekarang, karena sudah ada aplikasi percakapan WhatsApp. Pemesan tinggal memesan gamelan atau alat musik lainnya lewat pesan singkat disertai ukuran yang diminta.
Pesanan baru terhitung tak lagi sering. Namun permintaan layanan perbaikan masih mengalir deras.
Kendati demikian, Permadi mengakui bahwa penjualan gamelan cukup terbantu, setelah adanya kebijakan pemerintah yang menjadikan karawitan sebagai salah satu bagian dari mata pelajaran. Bukan hanya ekstrakurikuler.
"Saya hanya heran kenapa harus lewat CV (persekutuan komanditer). Karena dari atas (pemerintah) ada dana besar namun sampai ke bawah dana itu nominalnya jadi kecil. Nah, dengan dana sebesar itu diserahkan kepada kami, mau minta barang bagus, ya susah," tuturnya.
Kontributor : Uli Febriarni
Berita Terkait
Terpopuler
- Selamat Tinggal Jay Idzes, Mohon Maaf Pintu Klub Sudah Ditutup
- Resmi! Thijs Dallinga Pemain Termahal Timnas Indonesia 1 Detik Usai Naturalisasi
- Makin Menguat, Striker Cetak 3 Gol di Serie A Liga Italia Dinaturalisasi Bersama Mauro Zijlstra
- Thijs Dallinga Ogah Bahas Peluang Bela Belanda, Sepakat Perkuat Timnas Indonesia?
- 1 Detik Naturalisasi 9 Pemain Keturunan Ini Harga Pasaran Timnas Indonesia Tembus Rp 1 Triliunan!
Pilihan
-
3 Film Jadi Simbol Perlawanan Terhadap Negara: Lebih dari Sekadar Hiburan
-
OJK Beberkan Fintech Penyumbang Terbanyak Pengaduan Debt Collector Galak
-
Tarif Trump 19% Berlaku 7 Agustus, RI & Thailand Kena 'Diskon' Sama, Singapura Paling Murah!
-
Pemerintah Dunia dan Tenryuubito: Antagonis One Piece yang Pungut Pajak Seenaknya
-
Persija Jakarta Bisa Lampaui Persib di Super League 2025/2026? Eks MU Beri Tanggapan
Terkini
-
Target PAD Pariwisata Bantul Terlalu Ambisius? Ini Strategi Dinas untuk Mengejarnya
-
Marak Pembangunan Abaikan Lingkungan, Lanskap Ekosistem DIY Kian Terancam
-
Status Kedaruratan Ditingkatkan Pasca Kasus Leptospirosis, Pemkot Jogja Sediakan Pemeriksaan Gratis
-
Bosan Kerja Kantoran? Pemuda Ini Buktikan Keripik Pisang Bisa Jadi Bisnis Menguntungkan di Kulon Progo
-
PSBS Biak 'Kuasai' Maguwoharjo, Pemkab Sleman Beri Lampu Hijau, Bagaimana Nasib PSIM?