Menurutnya, fatwa MUI secara tak langsung memberikan kewenangan sepenuhnya kepada pemerintah sebagai ulil amri untuk menetapkan kategori suatu kawasan. Secara teori, warga harus ikut apa keputusan pemerintah.
Ditanyai perihal lebih baik jamaah di masjid atau salat di rumah dengan alasan khawatir terjangkit, Arif menjelaskan bahwa pemerintah belum bisa memberikan keterangan secara gamblang.
"Hingga hari ini, tidak ada standar indikator nasional untuk menetapkan suatu zonasi," ujarnya.
Hal ini mengakibatkan masing-masing daerah mengambil keputusan masing-masing, dengan pertimbangan per daerah.
"Salah satu contoh, Jateng-Jatim ambil keputusan yang beda dengan DIY. padahal, tingkt kasusnya tak jauh berbeda. Demikian juga dengan kasus pertemuan Jamaah Tabligh di Gowa dan misa di NTT. Pemerintah bahkan tidak bisa bertindak tegas karena tidak ada acuan nasionalnya. Indonesia gagap dan tidak siap dalam menghadapi virus corona," kata Arif.
Lebih jauh, ditanyai pendapat terkait apakah suatu individu yang merasa khawatir diperbolehkan untuk tidak mengikuti jamaah salat Jumat. Ia menuturkan, tidak bisa semudah itu.
"Tidak otomatis boleh," ucapnya.
Ia melanjutkan, "Lalu apa solusinya? Kita tetap bisa merujuk ke fatwa MUI dari segi semangatnya untuk la darara wa la dirara (tidak membahayakan diri sendiri dan orang lain), tetapi kriteria madharatnya bukan lagi zona tinggi atau rendahnya penularan, melainkan merujuk pada masa darurat bencana yang ditetapkan oleh BNPB, yang ditunjuk resmi oleh pemerintah sebagai koordinator penanganan wabah CoViD-19."
Ia juga menuturkan bahwa BNPB telah menetapkan status "Masa Darurat Bencana" secara nasional berlaku sampai 29 Mei. Sehingga, individu dan takmir yang ingin memutuskan untuk meniadakan salat Jumat bisa mengacu pada status darurat bencana nasional BNPB untuk meniadakan pelaksanan salat Jumat.
Baca Juga: Tanpa Robert Alberts, Persib Jalani Latihan Perdana Usai Libur
"Tanpa kebijakan lock down, menetapkan keadaan darurat berdasarkan zonasi juga kurang tepat. Sebab si pembawa virus bisa jadi memiliki mobilitas tinggi. Orang Solo itu tertular dari Bogor, padahal waktu itu kasus yang terdeteksi baru di Depok," ungkapnya.
Berita Terkait
-
Pasien Positif Corona Kedua Diketahui Tinggal di Ngaglik, Ini Imbauan Camat
-
Waspada Corona, Bupati Sleman: UNBK Dilaksanakan Sesuai dengan Protap WHO
-
Dampak Corona, Puluhan Ribu Mahasiswa UGM Terpaksa Kuliah Daring
-
Mau Bikin Disinfektan Sendiri? Ini Tips Lengkap dari TRC BPBD DIY
-
WNA Asal Negara Terdampak Corona Masih Bisa Perpanjang Masa Tinggal
Terpopuler
- 5 Mobil Bekas 30 Jutaan untuk Harian, Cocok buat Mahasiswa dan Keluarga Baru
- 7 Mobil Bekas Terbaik untuk Anak Muda 2025: Irit Bensin, Stylish Dibawa Nongkrong
- Gibran Hadiri Acara Mancing Gratis di Bekasi, Netizen Heboh: Akhirnya Ketemu Jobdesk yang Pas!
- Suzuki Ignis Berapa cc? Harga Bekas Makin Cucok, Intip Spesifikasi dan Pajak Tahunannya
- 5 HP RAM 8 GB Paling Murah Cocok untuk Gamer dan Multitasking Berat
Pilihan
-
Harga Emas Turun Tiga Hari Beruntun: Emas Jadi Cuma 2,3 Jutaan di Pegadaian
-
Indonesia Ngebut Kejar Tarif Nol Persen dari AS, Bidik Kelapa Sawit Hingga Karet!
-
Prabowo Turun Gunung Bereskan Polemik Utang Whoosh
-
Jokowi Klaim Proyek Whoosh Investasi Sosial, Tapi Dinikmati Kelas Atas
-
Barcelona Bakal Kirim Orang Pantau Laga Timnas Indonesia di Piala Dunia U-172025
Terkini
-
Latih Ratusan KTB, Pemkot Yogyakarta Siap Perkuat Ketahanan Masyarakat Hadapi Bencana
-
DMFI Geram, Perdagangan Daging Anjing Kembali Marak di Yogyakarta, Perda Mandek?
-
Pasar Godean Modern Dibuka! Bupati Minta Pedagang Lakukan Ini Agar Tak Sepi Pengunjung
-
Anak Muda Ogah Politik? Ini Alasan Mengejutkan yang Diungkap Anggota DPR
-
Saemen Fest 2025 Hadir Lagi, Suguhkan Kolaborasi Epik Antara Musisi Legendaris dan Band Milenial