Scroll untuk membaca artikel
Eleonora Padmasta Ekaristi Wijana
Rabu, 13 Mei 2020 | 17:20 WIB
Segarnya Kuah Sayur Lodeh.(Shutterstock)

Kemungkinan lainnya menyebutkan, legenda sayur lodeh diperkuat di awal abad ke-20. Contoh paling terkenal datang dari tahun 1931, yakni di masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) VIII. Saat itu Jawa diserang gelombang wabah pes berturut-turut selama lebih dari dua dekade. Namun catatan lainnya juga menunjukkan bahwa sayur lodeh dimasak untuk merespons krisis pada tahun 1876, 1892, 1946, 1948, dan 1951. Seiring berjalannya waktu, sayur lodeh menjadi populer di seluruh Kepulauan Melayu, membuatnya makin sulit untuk dicari tahu mengapa, kapan, dan bagaimana masakan ini berevolusi.

Di sisi lain, sejarawan makanan Khir Johari percaya bahwa pertanyaan seperti itu tidak relevan.

"Ketika kita menilik sejarah makanan, godaannya adalah mencoba untuk menggabungkan titik-titik yang ada, sehingga Anda berakhir pada kisah monosentris," katanya. "Tetapi mungkin memang ada banyak titik awal mula penciptaannya."

"Masyarakat Peranakan China di Singapura menyajikan sayur lodeh sebagai semacam sup sayuran kuning yang Anda makan dengan lontong," ujar Khir. "Sementara orang Singapura Jawa membuat lodeh putih tanpa kunyit."

Baca Juga: Inter Milan Favorit Dapatkan The New Andrea Pirlo

Johari beranggapan, transformasi sayur lodeh yang menyebar melalui tambalan budaya yang membentuk Kepulauan Melayu menggambarkan adanya interaksi antara makanan, kebiasaan sosial, dan lingkungan. Dengan lahan pertanian yang subur, penduduk desa di Jogja dapat dengan mudah memasok sayuran saat menghadapi wabah dan letusan gunung berapi. Selain itu, wilayah ini juga didominasi oleh simpul maritim utama, sehingga ketika ada kebijakan karantina, wisatawan yang baru tiba terpaksa harus diisolasi. Dari kondisi ini, kemungkinan sayur lodeh dipopulerkan oleh pelaut Jawa ke orang luar Jogja karena sup, sup kental, dan kari seperti sayur lodeh menjadi sangat praktis untuk dimasak ketika terjebak di kapal.

Hidangan ini pun terus berkembang. Di luar Jogja, sayur lodeh mungkin telah kehilangan arti sebenarnya, tetapi masih diakui sebagai masakan yang entah bagaimana, lebih dari sekadar makanan. "Lodeh adalah makanan sederhana," kata Nova Dewi Setiabudi, pengelola kafe Suwe Ora Jamu di M Bloc Jakarta. "Tetapi ada filosofi besar -- kebijaksanaan -- di baliknya. Kuncinya adalah bahan-bahan segar."

Selama 20 tahun terakhir, dilaporkan BBC.com, Jogja telah sangat berubah, ada banyak pembangunan hotel, mal, dan bandara baru. Namun, kebutuhan akan ritual yang dirasa menenteramkan hati tetap tidak berubah. Bahkan, beberapa warga Jogja tetap memasak sayur lodeh setelah tersebar pesan berantai yang mencatut Sri Sultan HB X tentang perintah memasak sayur lodeh di tengah pandemi Covid-19 saat ini. Padahal, pihak Keraton telah menyatakan pesan tersebut hoaks.

BBC.com menyebut Jogja sebagai sebuah anomali di Indonesia, sebuah kerajaan otonom di dalam sebuah republik. Sultan saat ini lebih suka untuk dipandang sebagai tokoh modern dan tampaknya ingin menjauhkan diri dari takhayul yang melekat pada sayur lodeh. Sikap diamnya untuk mengakui tradisi mungkin berkaitan dengan risiko politik. Walaupun kasus Cobid-19 yang dikonfirmasi di Jogja terbilang rendah, tidak elok jika Sultan menyarankan pembuatan sayur lodeh sebagai respons terhadap krisis saat ini.

Baca Juga: Resmi Melucur di Beijing, Harga Poco F2 Pro Mulai Rp 8 Juta

Load More