SuaraJogja.id - Keberlanjutan bias urban dan kemiskinan desa yang permanen telah melahirkan ketidaksetaraan desa dalam relasinya dengan kota.
Hal tersebut disampaikan oleh Sosiolog UNJ Robertus Robert dalam Kongres Kebudayaan Desa pada Jumat (10/7/2020), menggarisbawahi tentang ketidakadilan spasial yang terus membayangi desa.
Dalam bias urban, Robert menjelaskan hal ini sebagai suatu fenomena praktek kebijakan yang dikriminatf, lebih menguntungkan kota ketimbang desa.
"Mendorong pembangunan cenderung di wilayah urban, menyebabkan orang kota cenderung lebih cepat dalam mencapai kesejahteraan dibanding orang desa," ujar Robert.
Baca Juga: Hadapi Pandemi, Kepala BKKBN Sebut Pentingnya Membangun Ekonomi Keluarga
Ketidaksetaraan mengakibatkan tingkat kemiskinan di desa masih lebih tinggi jika dibandingkan di kota, di mana hal ini telah terjadi sejak tahun 1993.
Untuk itu, Robert menyebut bahwa teori tentang mengentaskan kemiskinan di kota akan secara tidak langsung menghapuskan kemiskinan di desa menjadi tidak relevan.
"Meskipun terjadi urbanisasi, banyak orang desa pergi ke kota, namun kemiskinan selalu berada di desa," sambungnya.
Ketimpangan juga dibentuk oleh pandangan-pandangan yang menempatkan desa berada di bawah kota.
Desa dipandang sebagai ruang yang tradisional, bergantung dengan alam, dan keadaannya selalu dianggap konstan dan stabil. Sementara, kota dianggap sebagai tempat kemajuan dengan segala perkembangan teknologi.
Baca Juga: New Normal Wabah Corona, WNA Boleh Masuk Indonesia
"Desa dianggap sebagai masa lalu dan kota dianggap sebagai cita-cita," katanya.
Robert juga menyorot bagaimana relasi desa dan kota dalam hal produksi dan konsumsi tak lagi saling mengisi karena adanya globalisasi dan intervensi perusahaan-perusahaan asing yang memutus hubungan desa dan kota.
Globalisasi menghambat desa dalam memasok hasil produksinya ke kota. Ia mencontohkan, bagaimana kota kini lebih bergantung pada produk-produk impor.
Menjawab problema ketimpangan dan ketidaksetaraan desa ini Robert mengatakan salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah menguatkan asosiasi-asosiasi politik di desa.
"Cara mendapatkan kesetaraan desa yang lebih luas adalah harus ada syarat politik yang dipenuhi yakni dengan membangun asosiasi-asosiasi politik yang terorganisir," bebernya.
Lembaga politik yang terorganisir akan membantu warga desa meningkatkan bargaining position-nya di mata kota atau negara. Membuktikan bahwa desa memiliki posisi yang kuat dan mandiri, alih-alih hanya bergantung pada kota.
- 1
- 2
Berita Terkait
Terpopuler
- Pemain Keturunan Berbandrol Rp208 M Kirim Kode Keras Ingin Bela Timnas Indonesia
- 7 Rekomendasi Mobil Jepang Bekas Tahun Muda Mulai Rp60 Jutaan, Cocok Dipakai Harian
- 5 Rekomendasi Mobil Sedan Bekas di Bawah Rp50 Juta, Performa Masih Tangguh
- Pemain Keturunan Rp 312,87 Miliar Juara EFL Masuk Radar Tambahan Timnas Indonesia untuk Ronde 4
- 6 Rekomendasi City Car Bekas Mulai Rp29 Jutaan: Murah dan Irit Bensin
Pilihan
-
Here We Go! Ole Romeny Cs Main di Piala Presiden 2025: Ini Jadwalnya
-
Timses Prabowo Gibran Masuk Jajaran Dewan Komisaris Pertamina, Intip Rekam Jejaknya
-
Setelah BMW, Kini Kaesang Muncul dari Balik Pintu Mobil Listrik Hyptec HT
-
8 Rekomendasi Printer Termurah dan Terbaik untuk Mahasiswa, Harga di Bawah Rp1 Juta
-
Pesawat Air India Boeing 787 Jatuh Setelah Lepas Landas di Ahmedabad, Bawa 242 Penumpang
Terkini
-
Masa Depan Transportasi Pelajar Bantul: 3 Bus Sekolah Baru Segera Hadir, Apa Dampaknya?
-
Gaya Hidup Bikin Boncos? Ini Jurus Ampuh Mahasiswa Bebas dari Pinjol & Raih Ketahanan Finansial
-
Sambut Mandiri Jogja Marathon (MJM) 2025, Bank Mandiri Tebar Cashback hingga Diskon Belanja
-
Covid-19 Mengintai Lagi? Bandara YIA Siaga Penuh, Ini Langkahnya
-
Kasus Covid-19 Muncul Lagi di Jogja, Dinkes Pastikan Situasi Terkendali