SuaraJogja.id - Massa Aliansi Rakyat Bergerak (ARB) kembali turun ke jalan untuk menolak pengesahan Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Di pengujung aksi, akun ARB mengunggah foto diduga pelipis demonstran berdarah.
Admin akun Twitter milik Aliansi Rakyat Bergerak, @gjynmmnggllagi, mengunggah darah yang mengucur di pelipis seorang demonstran. Cuitan mereka mengisyaratkan demo berbuntut bentrok.
Akun tersebut menuliskan bahwa massa direpresi. Bukan cuma itu, akun tersebut juga mengajak publik untuk merapat mengikuti aksi.
"ALERTA! KAMI DIREPRESI. SILA MERAPAT," kicau pemilik akun @gjynmmnggllagi seperti dikutip Suarajogja.id, Jumat (14/8/2020) malam.
Dalam foto tersebut, terlihat seorang pemuda memegang rambutnya. Tampak, pelipis pemuda tersebut bercucuran darah segar. Entah apa yang melukai pemuda itu.
Sementara, di cuitan setelahnya, pemilik akun @gjynmmnggllagi mengunggah foto massa tengah berhadapan dengan polisi. Pemilik akun juga mengunggah cuitan bernada umpatan ke aparat.
Hingga berita ini disusun belum ada konfirmasi dari lapangan terkait adanya demonstran yang terluka.
Massa Aliansi Rakyat Bergerak (ARB) kembali turun ke jalan untuk menggelar aksi protes menolak pengesahan Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Aksi akan terus dilakukan hingga pembahasan mengenai Omninbus Law dibatalkan oleh pemerintah.
Humas Aliansi Rakyat Bergerak Lusi menyampaikan bahwa hasil dari mediasi antara DPR dengan massa di Jakarta menyatakan, pemerintah akan menghentikan pembahasan mengenai Omnibus Law selama dalam masa reses.
Baca Juga: Aksi Tolak Omnibus Law di Gejayan Memanas, Massa Bakar Ban hingga Bentrok
Namun, saat ini pembahasan mengenai aturan baru tersebut masih terus dilakukan oleh DPR. Hal tersebut menjadi alasan kuat kenapa massa masih terus melakukan aksi untuk mencegah pengesahan Omnibus Law oleh pemerintah.
"Sedangkan seperti yang kita tahu, selama masa reses kemarin DPR masih melanjutkan pembahasan mengenai Omnibus Law. Itulah mereka yang menyalahi kesepakatan yang mereka buat itu," ungkap Lusi dalam jumpa wartawan di Jalan Gejayan, Sleman, Jumat (14/8/2020).
Melihat DPR mengkhianati kesepakatan yang sudah dibuat sebelumnya, ARB merasa perlu untuk terus melakukan aksi massa hingga pembahasan mengenai Omnibus Law benar-benar dibatalkan oleh pemerintah.
Sementara, anggota Humas ARB lainnya, Revo, menyebutkan bahwa jaringannya secara nasional pada 16 Juli 2020 yang lalu sudah bersepakat akan terus melakukan aksi massa agar pembahasan mengenai Omnibus Law dihentikan oleh pemerintah.
Revo meyakinkan, hingga pembahasan mengenai Omnibus Law dihentikan, aksi-aksi serupa akan terus berjalan. Sebab, ia menilai, saat ini DPR tidak seharusnya meneruskan pembahasan mengenai RUU yang dinilai dapat merugikan para pekerja di Indonesia itu.
"Karena jika dibilang RUU Cipta Kerja menguntungkan masyarakat, itu adalah sebuah kebohongan besar," tutur Revo.
Ia menyampaikan, saat ini banyak masyarakat yang sedang mengalami kesulitan. Namun, anggota dewan yang bertugas mewakili rakyat justru masih sibuk membahas undang-undang yang dinilai tidak memiliki keuntungan untuk masyarakat luas.
Revo bahkan juga menyebutkan, RUU Cipta Kerja hanya menguntungkan para pengusaha dan kaum elite saja. Sementara mahasiswa, buruh, dan rakyat kecil justru akan makin menderita jika undang-undang itu disahkan.
Mengutip kalimat akademisi UGM, Revo menyebutkan, tidak ada lagi dikotomi antara kesehatan dan ekonomi. Sektor kesehatan merupakan hal nomor satu yang perlu diperhatikan, sementara sektor ekonomi bisa mengikuti.
"Soalnya gini, RUU Cipta Kerja sudah dibahas sejak sebelum pandemi. Maka relevansinya patut dipertanyakan sekarang," terang Revo.
Saat ini dunia secara global sedang mengalami perubahan, begitu juga dengan sektor ekonomi. Oleh karena itu, ia menekankan, relevansi pembahasan RUU Cipta Kerja dengan kondisi masyarakat global sudah berubah.
Sayangnya, selain melanggar kesepakatan untuk menghentikan pembahasan, pemerintah juga dinilai tidak memberikan ruang untuk masyarakat memberikan masukan. Revo juga mempertanyakan apakah pengesahan RUU Cipta Kerja dapat membantu Indonesia melewati resesi.
Bertujuan menunjukkan gerakan rakyat yang masih terus ada, aksi ARB kali ini dimulai dengan orasi di bundaran UGM, kemudian dilanjutkan ke pertigaan Gejayan-Colombo, dan berakhir di pertigaan UIN Sunan Kalijaga.
"Ini masih akan kontinu, kami tidak akan dibatasi oleh satu atau dua aksi," imbuhnya.
Lusi menambahkan, aksi yang mereka gelar siang tadi bertujuan untuk memberikan tekanan politik, sekaligus juga menandingi survei pemerintah yang menyebutkan Omnibus Law sudah diterima oleh banyak masyarakat Indonesia.
Cara pemerintah menggandeng beberapa tokoh, termasuk para selebritas, untuk mempromosikan #Indonesiabutuhkerja pun dilihat sebagai bentuk pesimisme tidak bisa meyakinkan masyarakat Indonesia tanpa bantuan tokoh-tokoh ternama.
Sementara, tokoh-tokoh yang digaet menjadi duta promosi bukanlah orang-orang yang akan terdampak secara langsung ketika UU Cipta Kerja disahkan. Lusi menyebutkan, keterlibatan tokoh menunjukkan inkapabilitas pemerintah meyakinkan masyarakat.
Dari enam aksi yang sudah digelar, lima di antaranya berlangsung di Jalan Gejayan. Lusi menyebutkan, pihaknya tidak langsung menyerang kantor DPRD karena dalam sekali aksi di sana, tidak ada tindakan konkret yang dilakukan pemerintah.
Gejayan Memanggil pun dibangun untuk menjadi ruang-ruang politik baru bagi masyarakat melalui politik-politik jalanan, di mana semua elemen masyarakat dapat bergabung dan menyampaikan aspirasi politiknya.
Beberapa hal yang menjadi tuntutan aksi ARB adalah agar pemerintah menggagalkan Omnibus Law serta memberikan jaminan kesehatan, ketersediaan pangan, dan upah yang layak untuk rakyat selama pandemi.
Pemerintah juga dituntut menggratiskan biaya pendidikan perguruan tinggi selama dua semester selama pandemi, mencabut UU Minerba, membatalkan RUU Pertahanan, serta meninjau ulang RUU KUHP, juga segera mengesahkan RUU PKS.
ARB menuntut pula agar pemerintah menghentikan dwifungsi TNI dan Polri yang saat ini banyak menempati jabatan publik yang akan dilegalkan oleh Omnibus Law. Mereka juga menolak otonomi khusus Papua dan memberikan Hak penentuan nasib sendiri dengan menarik seluruh komponen militer, mengusut tuntas pelanggaran HAM, dan membuka ruang demokrasi seluas-luasnya.
Selain itu, ARB juga menolak adanya tambang pasir besi di Kulon Progo, menolak rencana pembangunan bendungan besar, menghentikan segala pembangunan infrastruktur yang menggusur penghidupan warga, serta menuntut adanya standarisasi relaksasi kredit kendaraan bermotor.
Berita Terkait
-
Aksi Tolak Omnibus Law di Gejayan Memanas, Massa Bakar Ban hingga Bentrok
-
Duduki Gejayan Lagi, ARB Terus Gelar Aksi Sampai Omnibus Law Dibatalkan
-
Lagi, 21 Karyawan Kesehatan di DIY Positif COVID-19
-
Curi Motor Korban yang Bannya Bocor, Pelaku Awalnya Berencana Tawuran
-
Buntuti Pengendara yang Bannya Bocor, 4 Pemuda di Jogja Curi Sepeda Motor
Terpopuler
- Lagi Jadi Omongan, Berapa Penghasilan Edi Sound Si Penemu Sound Horeg?
- 5 Pemain Timnas Indonesia yang Bakal Tampil di Kasta Tertinggi Eropa Musim 2025/2026
- Kisah Pilu Dokter THT Lulusan UI dan Singapura Tinggal di Kolong Jembatan Demak
- Brandon Scheunemann Jadi Pemain Paling Unik di Timnas Indonesia U-23, Masa Depan Timnas Senior
- Orang Aceh Ada di Logo Kota Salem, Gubernur Aceh Kirim Surat ke Amerika Serikat
Pilihan
-
Resmi! Dukcapil Serahkan NIK Warga RI untuk Awasi Wajib Pajak
-
5 Rekomendasi HP Murah Samsung dengan Fitur USB OTG, Multifungsi Tak Harus Mahal
-
Bukalapak Merana? Tutup Bisnis E-commerce dan Kini Defisit Rp9,7 Triliun
-
Investasi Kripto Makin Seksi: PPN Aset Kripto Resmi Dihapus Mulai 1 Agustus!
-
9 Negara Siaga Tsunami Pasca Gempa Terbesar Keenam Sepanjang Sejarah
Terkini
-
Soal Temuan Obat di Tubuh Diplomat Arya Daru, Keluarga Ungkap Hal Ini
-
Keluarga Besar Arya Daru: Kami Percaya Kebenaran akan Terungkap!
-
Catat! Jalan Tol Jogja-Solo Segmen Klaten-Prambanan Segera Berbayar
-
Geger Pantai Sanglen: Sultan Tawarkan Pesangon, Warga Bersikeras Pertahankan Lahan
-
Keluarga Sebut Diplomat Arya Daru Hanya Gunakan Satu Ponsel yang Kini Masih Hilang