Scroll untuk membaca artikel
Eleonora Padmasta Ekaristi Wijana
Rabu, 02 September 2020 | 17:06 WIB
Bincang-bincang terkait hasil temuan mutasi D614G virus SARS-CoV-2 di Yogyakarta dan Jawa Tengah,yang berdaya infeksi lebih tinggi, bersama pakar dan dekanat FKKMK UGM di ruang Fortakgama, Rabu (2/9/2020). - (SuaraJogja.id/Putu)

SuaraJogja.id - Pergerakan manusia yang cukup masif sejak terjadinya pandemi COVID-19 disinyalir menjadi salah satu penyebab terjadinya mutasi D614G virus SARS-CoV-2. Sebab, virus tersebut pada awalnya berkembang di Eropa pada awal Februari 2020, tetapi saat ini sudah masuk ke Asia, termasuk di Indonesia.

"Virus ditemukan sudah bermutasi di Eropa pada Februari, padahal asalnya dari Wuhan. Pergerakan manusia yang begitu cepat saat ini kan tidak bisa dibatasi seoptimal mungkin, sehingga bisa jadi penyebab [mutasi]," ujar Ketua Pokja Genetik FKKMK UGM Gunadi di UGM, Rabu (2/9/2020).

Gunadi mencontohkan, dari teori evolusi Darwin, setiap makhluk hidup akan berdapatasi untuk bisa hidup, begitu juga virus SARS-CoV-2, yang terus beradaptasi dengan inangnya, dalam hal ini manusia.

Pada Februari 2020, baru 10 persen virus tersebut bermutasi di dunia. Namun pada Maret 2020, mutasi virus sudah mencapai 67 persen. Saat ini mutasi virus sudah mencapai lebih dari 77,5 persen menjadi G614.

Baca Juga: Menristek: Belum Ada Bukti Mutasi Virus Corona Terbaru Lebih Berbahaya

Sementara, kebijakan lockdown di berbagai negara atau Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Indonesia juga belum diberlakukan terlalu lama. Padahal, infeksi COVID-19 sudah terjadi di Wuhan sejak Desember 2019.

Peningkatan mutasi awalnya justru lebih banyak di luar Eropa, Amerika, dan Oceania, sehingga angka penularan COVID-19 cukup tinggi di wilayah  tersebut. Mutasi di Asia justru paling belakangan terjadi.

"Suprisingly, mutasi justru ditemukan di Eropa. Berarti kan ada pergerakan nih dari Wuhan ke sini karena virus ini escape dari imun kita," jelasnya.

Dengan terus bermutasinya virus, lanjut Gunadi, maka daya infeksius virus tersebut jadi lebih tinggi 10 kali lipat. Meski demikian, infeksi tersebut tidak berkaitan dengan keparahan pasien COVID-19. Karenanya, meski terus bermutasi, vaksin yang dikembangkan berbagai negara, termasuk Indonesia, tetap bisa membiirkan perlindungan dari vrius tersebut.

"Vaksin yang tengah dikembangkan masih efektif karena meski ada mutasi, tapi tidak perlu dikhawatirkan masih bisa di-cover," tandasnya.

Baca Juga: Menristek: Mutasi Covid-19 D614G Sudah Dominasi 78 Persen Kasus di Dunia

Laboratorium diagnostik FKKMK UGM menemukan, dari empat virus dari DIY yang dicek di lab, ternyata muncul tiga virus mengalami mutasi menjadi G614. Meski belum menggambarkan secara umum, tiga dari empat virus, berarti 75 persennya, sudah bermutasi.

Jumlah ini memang jauh lebih kecil dari penelitian di Inggris, yang meneliti lebih dari 93 ribu virus. Sedangkan, dari total 24 virus yang diteliti di Indonesia, sembilan virus di antaranya sudah ada mutasi.

"Dan sepertiga dari sembilan itu ada di Jogja dan Jateng," jelasnya.

Sementara Dekan FKMK UGM Ova Emilia mengungkapkan, penelitian dari UGM tersebut masih awal, tetapi diharapkan dapat dilanjutkan untuk pengembangan vaksin ke depan.

"Ditemukannya mutasi dan angka persentase virus yang bermutasi diharapkan dapat berdampak pada strategi kesehatan masyarakat maupun di rumah sakit," ungkapnya.

Namun meski pengembangan vaksin terus dilakukan, hal itu bisa saja tidak terlalu efektif karena virus terus bermutasi. Karenanya, imbauan pemerintah untuk menaati protokol kesehatan dinilai lebih efektif untuk menghindari penularan COVID-19.

"Vaksin bila efektif hanya dalam dua bulan, itu tidak ada gunanya, sehingga kita belum tahu, vaksin itu efektif dua tahun maka baru berdaya guna. Karena itu, semua harus mawas diri mengubah cara kita sehari-hari menaati protokol kesehatan," ungkapnya.

Titik Nuryastuti, anggota tim laboratorium diagnostik FKKMK UGM, menambahkan, ditemukannya mutasi D614G di DIY dan Jateng karena memang penelitian yang dilakukan UGM lebih di dua provinsi tersebut. Tim memeriksa 11.250 sampel virus di DIY dan 4.311 virus di Jateng.

Tracing yang gencar di DIY dan Jateng bagi masyarakat disinyalir membuat banyak kasus positif COVID-19 ditemukan. Karenanya, mutasi virus perlu terus diwaspadai karena virus sudah bisa beradaptasi dengan inang.

"Dari jumlah tersebut, yang positif bermutasi 1.088 atau 0,73 persen," ungkapnya.

Kontributor : Putu Ayu Palupi

Load More