Scroll untuk membaca artikel
Eleonora Padmasta Ekaristi Wijana | Muhammad Ilham Baktora
Kamis, 10 September 2020 | 08:00 WIB
Puluhan pedagang Pasar Kembang yang tergabung dalam Paguyuban Manunggal Karso melakukan audiensi dengan DPRD Kota Yogyakarta di Ruang Rapat 1, Rabu (9/9/2020). - (SuaraJogja.id/Muhammad Ilham Baktora)

SuaraJogja.id - Puluhan pedagang di Pasar Kembang (Sarkem) Yogyakarta yang tergabung dalam Paguyuban Manunggal Karso mengadu ke DPRD Kota Yogyakarta, Rabu (9/9/2020). Mereka meminta kejelasan Pemkot Yogyakarta, yang menggantungkan nasib pedagang setelah penggusuran yang dilakukan PT KAI 2017 silam.

Kuasa Hukum Pedagang, Yogi Zulfadhli, menjelaskan, maksud kedatangan ke kantor DPRD Yogyakarta agar lembaga tersebut menegur Pemkot Yogyakarta terkait penggusuran itu.

"Sebelumnya audiensi dan aduan seperti ini sudah kami lakukan. Ini yang ketiga kali, jadi kami memohon DPRD dengan segala kewenangannya menegur Wali Kota Yogyakarta terkait penggusuran pada 2017 lalu yang dialami oleh pedagang Pasar Kembang," ujar Yogi seusai audiensi di Ruang Rapat 1 Kantor DPRD Kota Yogyakarta, Rabu.

Yogi menjelaskan bahwa pihaknya, mewakili LBH Yogyakarta, menilai, terdapat pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) pada penggusuran itu. Sebab, pedagang seharusnya mendapat hak berkehidupan dengan berjualan.

Baca Juga: Rawan Terjadi Kebakaran, Warga Ngadiwinatan Minta Bantuan Hydrant Kering

"Jadi Wali Kota pada saat penggusuran itu menghapus Pasar Kembang sebagai Pasar Tradisional kelas IV, sehingga berdampak pada hilangnya hak pedagang untuk mendapat pekerjaan dan kehidupan yang layak. Ini jelas tanggung jawab Wali Kota sebagai lembaga eksekutif," jelasnya.

Hingga saat ini, Pemkot tak menunjukkan perhatian terhadap nasib para pedagang yang tergusur. Yogi menilai, tak ada tindakan nyata dari lembaga terkait untuk membicarakan keberlanjutan hidup pedagang.

"Wali Kota sampai saat ini tak pernah mengajak pedagang bertatap muka. Dari penggusuran itu, semua pihak punya tanggung jawab, bukan selesai menggusur lalu dibiarkan. Pedagang ini jelas di bawah pengelolaannya Wali Kota," tambah Yogi.

Bukan tanpa alasan Wali Kota harus ikut bertanggung jawab. Pasalnya, sebuah pasar resmi yang diatur dalam rencana tata ruang wilayah tidak boleh diubah-ubah.

"Secara aturan dalam rencana tata ruang wilayah, pasar resmi [Pasar Kembang] tidak boleh diubah dalam jangka waktu 20 tahun ke depan. Dari sini, pedagang digusur oleh PT KAI dan dilegitimasi dengan penerbitan Peraturan Walikota nomor 51 tahun 2017. Dari peraturan itu, hak warga tak terpenuhi dan pemerintah melanggar aturan rencana tata ruang karena telah mengubahnya," kata Yogi.

Baca Juga: Cerita Warga Tergusur Proyek Tol JORR 2: Dituduh Provokator dan Kena Tonjok

Terpisah, Ketua DPRD Kota Yogyakarta Danang Rudyatmoko menjelaskan bahwa Pemkot memiliki kewajiban untuk memberi hak kepada pedagang supaya mendapatkan tempat berjualan.

"Hal ini memang belum terselesaikan. Namun DPRD membatasi, dalam hal ini pedagang memiliki Kartu Bukti pedagang (KBP) yang harus membayar retribusi. Memang tiga tahun ini pedagang tak membayar retribusi karena tak berjualan, tapi pemerintah tentu wajib memberikan hak kepada pedagang untuk berjualan," katanya.

Danang menjelaskan, jika pedagang harus mendapatkan tempat berdagang yang layak, ada 30 pasar yang tersebar di Kota Jogja. Nantinya hal itu akan dikomunikasikan.

"Jadi mau direlokasi atau tidak nanti antara pedagang dan Pemkot. Namun kami akan menawarkan, dari Pemkot menawarkan 10 pasar. Jika tidak mau, pedagang seperti apa nanti [permintaannya]," katanya.

Pihaknya membatasi, jika pedagang tak setuju dengan tawaran yang ada, secara tidak langsung mereka harus mengembalikan KBP karena tak berjualan.

"Saya membatasi, jika tidak mau mengambil tawaran berdagang di 10 pasar itu misalnya, maka KBP dikembalikan karena dia tidak mau berdagang. Jika meminta ganti rugi, tentu tak ada dasar Pemkot harus memberi ganti rugi karena sebenarnya pedagang ini menempati tanah negara," ujar Danang.

Load More