Scroll untuk membaca artikel
Rima Sekarani Imamun Nissa | Amertiya Saraswati
Jum'at, 11 September 2020 | 14:10 WIB
Aksi sosial komunitas Perempuan Tattoo Indonesia (PTI) di tengah pandemi Covid-19. (Kolase Instagram/@perempuantattoo.ind)

"Terlebih pelajaran dari Mbak Agustin sendiri. Dengan dia yang apa adanya, tapi dia masih bisa membuat sesuatu untuk orang lain, bisa memberikan waktunya, dan ilmu yang dia punya walaupun dia bukan sarjana," ungkap Flo.

Opini baik dan buruk selalu ada

Beruntung, Agustin belum pernah menghadapi stigma perempuan bertato secara langsung, baik verbal atau tindakan. Sebagai ibu dengan empat anak, Agustin tetap sering datang ke sekolah anak-anaknya.

"Saya ibu dengan empat anak yang sering datang ke sekolah anak-anak saya, dengan rambut begini, dengan tato yang kelihatan, ya, tidak ada masalah."

Baca Juga: Program Community Accelerator dari Facebook Dukung Komunitas Tumbuh

Namun, lain halnya dengan media sosial. Ternyata, media sosial masih belum mampu membuka cara pikir semua orang. Meski begitu, Agustin enggan menanggapi opini orang di sosial media secara serius. Dia juga tidak merasa perlu menjelaskan satu-satu ke semua orang.

"Menurut saya, berdiskusi, atau membenarkan, atau menyalahkan komentar di sosial media juga tidak bijaksana. Kita tidak bisa memaksa orang untuk selalu berpikir bahwa tato itu baik, tato itu tidak jahat. Sedangkan media mainstream menggambarkan tato itu jahat."

"Saya lebih senang ketika opini jelek itu muncul, tapi saya melakukan hal yang kontradiktif dengan cara mereka berpikir," tambahnya sembari merujuk kepada kegiatan PTI selama ini.

Opini baik dan buruk di masyarakat adalah sesuatu yang tidak bisa dicegah, juga dimaklumi oleh Agustin. Dibanding berfokus pada opini buruk, Agustin memilih untuk mencari cara menghadapi semua itu.

"Tapi kalau kamu tidak melakukan apa pun dalam konteks bermasyarakat, ya, jangan harap stigma itu pergi," tandas Agustin.

Baca Juga: Badan Penuh Tato Jadi Kepala Desa, Ini 3 Foto Hoho Alkaf Bikin Merinding

Load More